Kamis, 26 Juni 2014

Bentuk-Bentuk Mukjizat Pada Posisi Duduk Untuk Sujud

Bentuk-Bentuk Mukjizat Pada Posisi Duduk Untuk Sujud

Terdapat hadits-hadits yang menjelaskan cara duduk pelaksana shalat ketika ia ingin sujud, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya meski terjadi perbedaan sedikit antara kekuatan dan kelemahan isi hadits. Akan tetapi, semua isinya menunjukkan bahwa ajaran Rasulullah saw, memerintahkan umatnya untuk berbeda dengan gerakan yang dilakukan binatang. Karena itu, seorang laki-laki ketika ia sujud jangan sampai sujudnya itu menyerupai telungkupnya unta. Artinya, ketika pelaksana shalat bergerak untuk sujud, hendaknya ia menempelkan dulu lututnya ke tanah baru kemudian disusul dengan tangannya. Gerakan ini sesuai dengan isi hadits Wail bin Hajar dan hadits Anas bin Malik.
Ayat-ayat Al-Quran juga banyak yang menjelaskan bahwa orang-orang mukmin itu akan cepat bersujud, seperti firman Allah SWT yang artinya; “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Kami, adalah orang-orang yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat (Kami), mereka menyungkur sujud dan bertasbih serta memuji Tuhannya, sedang mereka tidak menyombongkan diri..” (as-Sajdah: 15)
Dalam ayat lainnya,
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” (Maryam: 58)
Firman lainnya lagi,
“Katakanlah, ‘Berimantlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud.” (al-Israa’: 107)
Adapun menurut analisis ilmu antomi tubuh, jika seorang manusia bergerak untuk bersujud dengan bertumpu pada kedua lututnya dan bukan tangannya maka berarti ia telah menjaga kelurusan punggung pada saat jongkok untuk sujud. Dengan begitu, tulang belakang akan tetap berada di tempatnya yang normal dan hanya mengalami kecekungan alami (sedikit) saja. Sedangkan jika seseorang itu bergerak untuk bersujud dengan bertumpu pada dua tangannya dulu sebelum menempelkan kedua lututnya di tanah maka posisi ini dapat membahayakan tubuhnya, karena badannya akan terlipat ke depan menghadap tanah karena lebih dulu menempelkan dua tangannya ke tanah. Lipatan badan yang seperti  ini akan membuat tulang belakang menjadi cekung ke belakang pada saat ia bergerak untuk sujud meskipun waktu jongkok itu relative sebentar, hanya saja lengkungan tulang punggung kea rah belakang dapat menyebabkan terjadinya tekanan pada sisi dalam persendian yang ada di antara tulang. Tekanan ini muncul akibat menahan berat badan yang ada, sedangkan punggung dalam keadaan cekung ke belakang. Bila tekanan ini terjadi secara terus-menerus pada tubuh seseorang maka dapat menyebabkan retaknya persendian tulang, sehingga cairan darah putih yang mengelilingi tulang sumsum akan keluar dari rongga tulang belakang. Keadaan ini disebut sebagai kegagalan tulang rawan. Sangat tidak rasional bila Allah memerintahkan hamba-Nya untuk melakukan hal-hal yang membayakan diri mereka sendiri. Akan tetapi, sudah tentu perintah-perintah Allah SWT itu selalu mengandung manfaat yang sangat banyak. Karena itulah, bergerak untuk sujud (jongkok) dengan bertumpu pada dua lutut terlebih dahulu dapat menjaga kelurusan punggung, lalu diikuti pula dengan kelurusan tulang belakang, disamping dapat menjaga tulang belakang agar tetap condong dengan kecondongan alami saja. Kondisi ini dapat menyeimbangkan tekanan yang muncul, lalu disebarkan ke seluruh persendian tulang sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya kegagalan tulang rawan.
Adapun sebelum dilakukan gerakan untuk sujud usai melakukan ruku, terjadi beberapa proses alami tubuh terlebih dahulu, yaitu dimana sebelumnya (pada waktu ruku) system otot bagian belakang kaki dalam keadaan ekstensi penuh sehingga semua urat dan sel yang ada di daerah itu dipenuhi dengan aliran darah. Lantas tubuh digerakkan untuk berdiri usai ruku dan sebelum digerakkan untuk sujud dapat menyebabkan tertariknya otot-otot kedua kaki sehingga terjadi perubahan aliran darah yang memaksa sujud, akan semakin membantu kelancaran peredaran darah pada urat-urat system otot yang ada di kedua kaki. Akhirnya, keadaan ini dapat mencegah terjadinya pembengkakan pada kedua betis, dimana penyakit ini terjadi akibat buruknya peredaran darah yang ada di sekitar betis serta lemahnya beberapa katup urat yang ada di daerah betis. Kemudian, posisi jongkok ketika ingin sujud dengan bertumpu pada dua lutut terlebih dahulu baru disusul dengan dua tangan dapat memaksa seorang pelaksana shalat untuk bertumpu pada tulang depan jemari kaki, yaitu sesaat sebelum menempelnya lutut dengan tanah. Gerakan ini dapat berfungsi mendorong ruas jemari (gundukan depan telapak kaki) untuk lebih ke belakang sehingga menambah cekungan telapak kaki yang bertugas menjaga ketersambungan urat, sel-sel, dan syaraf dengan jemari kaki di bawah perlindungan cekungan telapak kaki ini. Tidak itu saja, posisi jongkok sebelum sujud selain menambah kecekungan telapak kaki, ia juga semakin menguatkan ligamentum (pesendian tulang) dan system otot yang menjaga kecekungan telapak kaki agar tidak jatuh sehingga tidak menyebabkan telapak kaki rata (flat foot). Sungguh sudah menjadi bukti kekuasaan Sang Maha Pencipta, Allah SWT, dimana Dia telah menjadikan panjang jemari kaki itu bertingkat-tingkat. Perbedaan panjang jemari kaki ini sama dengan lebarnya cekungan telapak kaki dari sisi dalam . bila kita ukur dengan seksama dari lebar, tinggi, dan panjang maksimal cekungan dalam kaki dari permukaan tanah itu sama dengan ukuran jemari kaki. Dari sisi lebar misalnya, cekungan telapak kaki itu sama lebarnya dengan jemari kaki bila diurut mulai dari jari kaki yang paling besar dan kuat (jempol kaki) hingga jari yang terkecil yang berada sejajar dengan sisi luar kaki. Lebar cekungan telapak kaki itu sendiri berakhir dengan sisi luar kaki yang menempel langsung dengan tanah. Dari sisi perbedaan panjang dan kekuatan jemari kaki akan sama pula dengan sisi dalam cekungan telapak kaki. Dengan begitu, pada saat seorang pelaksana shalat itu berjongkok untuk sujud dan bertumpu dengan sisi dalam jemari kaki sebelum ia menempelkan kedua lututnya ke tanah untuk sujud, berarti ia telah mendorong ruas depan jemari kaki (gundukan depan telapak kaki) untuk lebih mengarah ke belakang dan penekanan ini seimbang dengan perbedaan panjang jemari kaki.
Karena, jemari kaki yang paling besar (jempol kaki) akan mendapatkan tekanan yang lebih besar dibandingkan jari lainnya. Dengan begitu, dorongan ke belakang terhadap ruas jari paling besar ini akan sesuai dengan penambahan kedalaman cekungan dalam telapak kaki, dimana jarak cekungan terdalam telapak kaki ini juga hanya selebar jari terbesar. Tekanan terhadap tiga jari berikutnya juga akan berbeda dengan tekanan terhadap jari terkecil (kelingking). Tekanan terhadap tiga jari tengah juga sesuai dengan penurunan kedalaman telapak kaki yang bertahap menuju sisi luar. Adapun jari kelingking, ketika jemari kaki lainnya mendapatkan tekanan yang cukup besar meski intensitasnya agak berbeda pada waktu seorang pelaksana shalat itu berjongkok, sedangkan jari kelingking karena ia sendiri hamper tidak menapak dengan tanah sehingga relative tidak terjadi dorongan terhadap ruas jari kelingking. Keadaan ini juga sesuai dengan apa yang dialami cekungan telapak kaki, dimana telapak kaki tidak lagi mengalami kecekungan dalam posisi sejajar dengan kelingking. Dari sini dapat terlihat hikmah di balik berbedanya panjang jemari kaki, di samping juga hikmah di balik tekanan terhadap jemari kaki pada saat berjongkok untuk sujud. Semua tekanan yang dialami jemari kaki hanyalah sebagai upaya untuk menguatkan ligamentum dan system otot sehingga tetap dapat menjaga cekungan telapak kaki. Di tambah lagi, upaya penambahan cekungan telapak kaki adalah salah satu cara untuk mencegah dari terjadinya flat foot sebagai akibat dari penekanan yang dialami telapak kaki pada saat seseorang berjalan atau berdiri terlalu lama dengan membawa beban berat. Berikutnya, system otot kaki adalah system otot terbesar yang ada dalam tubuh, khususnya otot segi empat yang ada di pangkal paha depan. Karena itulah, system otot ini sangat membutuhkan latihan dan daya tahan yang relative lebih besar dibandingkan system otot  lainnya.  Posisi jongkok sebelum sujud dengan bertumpu pada kedua lutut terlebih dahulu sebelum tangan dapat membuat system otot kedua kaki lebih banyak bekerja dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai upaya menyeimbangkan bobot berat tubuh dimulai dari seorang pelaksana shalat itu berjongkok sampai ia menempelkan lututnya di atas tanah ketika sujud. Kerja keras system otot kedua kaki dalam menyeimbangkan bobot berat tubuh dapat berfungsi sebagai pengembang kekuatan system otot kedua kaki itu sendiri. Kekuatan ini lebih dikenal dengan kemampuan otot dalam melakukan pekerjaan yang berbeda-beda (tanpa mengenal lelah). Dalam posisi jongkok, system otot tubuh seseorang harus mencurahkan tenaga ekstra keras untuk menyeimbangkan bobot tubuhnya meskipun waktu berjongkok itu relative sangat sebentar. Hanya saja posisi jongkok ini terjadi pada setiap rakaat shalat, sehingga posisi tersebut sama saja melatih meningkatkan kekuatan system otot kedua kaki.
Meskipun setiap orang mempunyai system otot kedua kaki yang mampu memikul dan menyeimbangkan bobot tubuhnya masing-masing, namun mereka juga harus melakukan jenis latihan yang sesuai dengan kondisi fisiknya masing-masing. Karena inilah, gerakan shalat berusaha menjaga perbedaan kemampuan fisik masing-masing orang, baik pada saat mereka telah menjadi tua maupun sedang sakit. Berkenaan dengan hal ini, ada ajaran Rasulullah saw yang dapat kita ikuti, seperti yang diriwayatkan oleh Ummu Qais binti Muhshan, “Pada saat Rasulullah saw, sudah menginjak masa uzur dan kondisi tubuh beliau juga semakin lemah, maka ketika Rasulullah akan melakukan shalat, beliau mengambaih sebuah tongkat dan bertumpu dengan tongkatnya itu (pada saat berdiri untuk shalat).” Bisa diambil kesimpulan bahwa Rasulullah saw telah memberikan keringanan kepada umatnya untuk bertumpu pada sebuah tongkat pada waktu mereka sedang melakukan shalat, jika kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan untuk berdiri secara mandiri, baik karena lemah maupun sakit. Dari sini juga kita dapat melihat adanya hikmah lain, yaitu gerakan shalat sangat memperhatikan kondisi fisik masing-masing pelaksana shalat.
Firman Allah SWT yang artinya; “Sesungguhnya orang yang benar-benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong.” (as-Sajdah: 15)
Dengan begitu,cepatnya gerakan sujud, sebagaimana yang telah digambarkan oleh ayat diatas, akan menambah kuantitas aliran darah menuju kepala sebagai reaksi alami dari gerakan dinamis yang dilakukan oleh pelaksana shalat. Karena, aliran darah pada saat berdiri stelah melakukan ruku akan tertarik ke jantung dan segera dialirkan lagi menuju kepala, sedangkan posisi jongkok sebelum sujud akan membantu memudahkan peredaran darah sampai batas maksimal, mengingat posisi tubuh yang sangat mendukung kelancaran peredaran darah tersebut menuju daerah kepala.
Semakin bertambahnya aliran darah menuju otak berarti semakin menambah pula kadar oksigen yang diterima oleh otak sebagai akibat dari bertambahnya jumlah hemoglobin darah yang ada. Penambahan ini berarti semakin meningkatkan proses pengangkutan zat-zat kimia sisa metabolism yang diangkut oleh darah yang telah mengalir ke daerah kepala dan akan kembali lagi menuju jantung. Kondisi inilah yang nantinya dapat menyembuhkan sakit kepala  yang muncul akibat bertumpuknya sisa-sisa metabolism dalam otak dan sakit kepala akibat kekurangan kadar oksigen dalam otak, dan akhirnya dapat memberikan penyegaran untuk otak.
Adapun bagi seseorang yang menderita tekanan darah rendah, penderita anemia, kekurangan darah, ataupun mengalami lemah fisik yang diikuti dengan melemahnya tekanan darah maka tersendatnya aliran darah menuju otak hanya akan menambah buruk kondisi tubuhnya. Dengan kata lain, kurangnya suplai darah ke daerah kepala akibat penyakit-penyakit diatas dapat menyebabkan munculnya sakit kepala akut akibat kekurangan oksigen dan bertumpuknya zat-zat metabolism di otak. Disamping itu, kekurangan suplai darah ke daerah kepala dapat menyebabkan terjadinya penurunan stamina tubuh secara umum.
Adapun hadits yang diriwayatkan dari Anas, “Ketika Rasulullah saw, ingin sujud, beliau mengucapkan takbir terlebih dahulu lalu mendahulukan (menempel ke tanah) kedua lutut beliau sebelum dua tangannya.”
Hadits lain dari Abu Hurairah, Rasulullah saw pernah bersabda, yang artinya;
“Adanya imam (shalat) itu untuk diikuti maka jika dia (imam) mengucapkan takbir maka ucapkanlah takbir juga dan jika dia membaca (ayat Al-Qur’an) maka dengarkanlah.”
Ringkasnya, posisi jongkok untuk sujud dapat meningkatkan dua elemen olahraga; yaitu kekuatan dan kecepatan system otot. Di samping, posisi jongkok juga dapat menyembuhkan sakit kepala akibat kekurangan kadar oksigen di otak, dapat memperbaiki kemampuan penglihatan, dan dapat pula meningkatkan stamina tubuh dan otak. Berikutnya, hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah saw, telah melarang seseorang untuk duduk pada waktu shalat sedangkan ia tengah bertopang dengan tangannya.” (HR. Ahmad)
Adapun dalam riwayat Abu Dawud, “Rasulullah saw, telah melarang seseorang untuk shalat dengan bertumpu pada tangannya.” Terdapat juga hadits yang diriwayatkan dari Ummu Qais binti Muhshan, “Ketika Nabi saw, telah berumur dan lemah, beliau mengambil sebuah tiang (tongkat) di tempat shalatnya untuk di jadikan sandaran olehnya.”
Hadits pertama di atas menunjukkan makruhnya bersandar di atas kedua tangan pada waktu seorang pelaksana shalat sedang duduk, bangun, ataupun melakukan gerakan-gerakan lainnya ketika ia sedang shalat. Jika bersandar pada kedua tangan sendiri saja makruh, apalagi bila bersandar pada tongkat dan tembok. Sedangkan hadits Ummu Qais menunjukkan bolehnya seorang pelaksana shalat untuk bersandar dengan tiang, tongkat atau hal yang semisalnya dengan catatan, seorang pelaksana shalat memiliki uzur (kondisi tertentu), seperti kegemukan, lanjut usia, lemah fisik, dan sakit.

Sekelompok ulama menyebutkan, siapa saja yang pada saat berdiri ataupun duduk ketika melakukan shalat butuh untuk bersandar dengan tongkat, penopang, tembok , ataupun bersandar pada tubuh seseorang yang berada di sampingnya maka ia boleh melakukannya. Bahkan, imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang dalam kondisi tersebut ia tidak wajib berdiri dan boleh saja duduk (ketika melakukan shalat). Adapun dua hadits tersebut bisa dijadikan dalil tentang perintah untuk bertumpu pada dua kaki ketika seorang pelaksana shalat berjongkok untuk sujud dan pada waktu ia bangun dari sujud, dimana posisi tersebut memiliki keuntungan tersendiri bagi tubuh.

Cara Bergerak Untuk Sujud Dan Bangun Dari Sujud

Cara Bergerak Untuk Sujud Dan Bangun Dari Sujud

Mayoritas ulama berpendapat bahwa meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan pada saat bergerak untuk sujud (jongkok) itu sunnah. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Mundzir dari Nakha’I, Muslim bin Yasar, Sufyan ats-Tsauriy, Imam Ahmad, Ishaq, dan ulama-ulama terkenal lainnya, juga seperti pendapatnya Abu Thayyib.
Ibnul Qayyim pernah meriwayatkan, “Rasulullah saw, meletakkan kedua lututnya dulu, baru setelah itu kedua tangan, lalu kening, dan terakhir hidung beliau.” Hadits ini shahih dan diriwayatkan dari Syariik, dari Aashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari Wail bin Hajar, ia berkata, “”Aku melihat Rasulullah saw, jika beliau sujud maka beliau meletakkan kedua lututnya dulu sebelum kedua tangan. Kemudian ketika bangun dari sujud, beliau akan mengangkat kedua tangannya terlebih dahulu sebelum kedua lutut.” Para sahabat tidak pernah melihat Rasulullah saw, melakukan gerakan yang berbeda dari itu.
Atsram pernah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah yang berbunyi, “Jika kalian sujud maka mulailah dengan kedua lutut sebelum kedua tangan. Karena, tidak akan diberkahi (duduknya seseorang) dengan cara duduk unta.” Tetapi, hadits ini memiliki jalur sanad yang lemah (dhaif). Menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’I, posisi mendahulukan kedua lutut dari pada kedua tangan adalah lebih baik. Namun, Ibnu Khuzaimah berpendapat bahwa hadits Abu Hurairah di atas telah di mansukh (diganti hukumnya) dengan hadits yang diriwayatkan dari Sa’ad ia berkata, “Sebelumnya, kami biasa meletakkan kedua tangan dulu sebelum kedua lutut pada saat ingin sujud, lalu Rasulullah memerintahkan kami untuk mendahulukan kedua lutut dulu baru kedua tangan pada waktu ingin sujud.”
Bila hadits ini shahih, maka ia bisa menjadi solusi dari perbedaan pendapat di antara ulama, akan tetapi, menurut Ibrahim bin Ismail bin Yahya bin Salamah bin Kahiil, dari ayahnya, kedua hadits di atas sama-sama lemah (dhaif).
Menurut Imam Thahawi, mengakhirkan peletakkan kepala di bandingkan kedua lutut dan kedua tangan adalah ketika pelaksana shalat ingin sujud, namun ketika ia bangun dari sujud, ia harus mengangkat kepala dulu sebelum mengangkat anggota sujud yang lain. Namun, petunjuk yang jelas adalah Rasulullah saw, biasa meletakkan kedua lutut beliau sebelum kedua tangannya pada saat ingin sujud, baru setelah itu, beliau akan meletakkan kedua tangan, kening dan terakhir, hidung. Inilah pendapat yang benar. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, “Jika salah seorang di antara kalian bersujud maka jangan sampai ia tertelungkup (sujud) seperti tertelungkupnya unta. “Isi hadits ini –Allah Yang Maha Mengetahui –sangat membingungkan beberapa orang perawinya sendiri, karena awal teks hadits berlawanan dengan ujungnya. Maksud hadits itu (secara harafiah), jika seorang pelaksana shalat meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lutut maka ia telah mengikuti tertelungkupnya unta. Padahal, unta meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu baru kemudian kedua tangannya. Lantas, ketika orang-orang yang berpendapat seperti isi hadits ini mengetahui yang sebenarnya, mereka berkata, “Kedua lutut unta itu terletak di dua kaki depannya bukan kaki belakang. Karena, jika unta terlelungkup, ia akan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu. Padahal, posisi seperti inilah yang dilarang oleh Rasulullah saw. Di samping juga, posisi tersebut memiliki kekurangan, karena unta meletakkan dua tangannya terlebih dahulu daripada kedua lututnya.
Kekurangan pertama, biasanya unta membiarkan kedua kakinya tetap berdiri pada saat ia sedang duduk. Namun, ketika unta bangun dari duduknya, ia akan bangkit dengan bertumpu pada kedua kakinya (belakang) terlebih dahulu, sedangkan kedua tangannya (kaki depan) dibiarkan tetap menempel di tanah. Posisi seperti inilah yang dilarang oleh Rasulullah saw, karena beliau sendiri melakukan hal sebaliknya, yaitu beliau akan mendahulukan anggota sujud yang paling dekat dengan tanah (lutut) baru kemudian berikutnya (kedua tangan, dan lain-lain) ketika ingin sujud dan begitu pula sebaliknya, ketika  Rasulullah saw bangun dari sujud, beliau akan mengangkat anggota sujud yang paling atas terlebih dahulu (kening) baru kemudian yang berikutnya (hidung, kedua tangan, dan lain-lain).
Dengan kata lain, Rasulullah saw, ketika ingin sujud, beliau akan meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu, lalu kedua tangan, baru kemudian kening. Selanjutnya, ketika Rasulullah saw, bangun dari sujud beliau mengangkat kepalanya terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, lalu kedua lutut. Gerakan ini berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh unta. Rasulullah saw, sendiri melarang umatnya untuk meniru tingkah laku binatang pada waktu melakukan shalat. Contohnya, Rasulullah saw melarang umatnya untuk tertelungkup seperti gaya tertelungkupnya unta, menoleh seperti menolehnya serigala, duduk seperti duduknya binatang buas, menggonggong seperti menggonggong anjing, berkicau seperti berkicaunya burung gagak, serta mengangkat tangan ketika memberikan salam seperti gerakan buntut kuda. Jadi ajaran Rasulullah saw, (dalam hal gerakan) itu berlawanan dengan cara-cara gerakan binatang.
Kekurangan kedua, perkataan mereka bahwa lutut unta itu berada di tangannya (kaki depan) adalah perkataan yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan ahli bahasa. Karena, lutut unta itu terletak di kaki belakangnya.
Kekurangan ketiga, kalau memang benar apa yang mereka katakana itu, maka mereka akan berkata, “Maka tertelungkuplah seperti tertelungkupnya unta.” Karena, anggota tubuh yang ditempelkan unta ke tanah hanya tangan (kaki depan) saja. Kemudian, bila kita mau teliti cara tertelungkupnya unta dan membanding -kannya dengan hadits Nabi saw, yang melarang tertelungkup dengan cara tertelungkupnya unta maka kita dapati bahwa hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hajar itu lebih benar. Wallahu A’lam.
Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah di atas (tentang cara sujud) telah diberi catatan oleh Bukhari, seraya berkata, “Aku lupa apakah aku pernah mendengar hadits itu daru Abu Zinad atau bukan. Akan tetapi, Tirmidzi, telah menyatakan bahwa hadits itu (yang diriwayatkan dari Abu Hurairah) adalah hadits ghariib (jarang), tidak kita ketahui (asal-usul dan kebenarannya).”
Gerakan sujud yang dilakukan para sahabat sendiri sangat sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hajar. Ibrahim an-Nakha’I pernah berkata, “Ia (Wail) ingat gerakan yang dilakukan oleh Abdullah bin Mas’ud, yaitu kedua lututnya lebih dulu menempel ke tanah sebelum kedua tangannya.”
Diriwayatkan dari Syu’bah bin Mughirah, ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibrahim tentang seorang laki-laki yang memulai sujudnya dengan meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum kedua lutut-nya, lalu ia menjawab pertanyaanku itu, seraya berkata, ‘Orang yang melakukan itu hanyalah orang bodoh ataupun orang gila.”
Pada hadits Abu Hurairah di atas, terjadi ambigu (dua pemahaman) dalam muatan isinya. Karena, ada orang yang meriwayatkan, “Hendaknya ia (pelaksana shalat) meletakkan tangannya terlebih dahulu sebelum lututnya (pada waktu ingin sujud).” Namun, ada pula yang mengatakan kebalikannya, “Hendaknya pelaksana shalat meletakkan lututnya sebelum tangannya.” Bahkan, ada pula yang menghapus kalimat tersebut.
Dari semua pemaparan di atas, terlihat jelas bahwa pendapat mayoritas ulama dan gerakan sujud para sahabat sesuai dengan hadits Wail bin Hajar yang berbunyi, “Aku melihat Rasulullah saw ketika ingin sujud, beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangan. Ketika beliau ingin bangun dari sujud, beliau akan mengangkat kedua tangannya sebelum lutut.” Selanjutnya, para sahabat tidak pernah melihat Rasulullah saw, melakukan kebalikan dari aturan itu. Dari sini dapat disimpulkan, Rasulullah saw, ketika sujud akan menempelkan ke tanah anggota tubuh yang pertama kali adalah yang paling dekat dengan tanah, sedangkan ketika beliau bangkit dari sujud maka anggota tubuh yang pertama kali beliau angkat adalah anggota tubuh yang paling atas. Diriwayatkan dari Anas r.a, “Rasulullah saw, turun (untuk melakukan posisi sujud) dengan mengucapkan takbir dan mendahulukan lutut daripada tangan.”

Hadits ini menghapus hukum dari hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, sekaligus menguatkan hadits Wail bin Hajar, serta sesuai dengan perbuatan para sahabat r.a, dan ajaran Rasulullah saw, yang memerin-tahkan untuk tidak meniru gaya binatang.

Berdiri Dari Ruku Tanpa Di Dasari Niat

Berdiri Dari Ruku Tanpa Di Dasari Niat

Posisi I’tidal (berdiri tegak) menjadi gerakan berikutnya bagi seorang pelaksana shalat ketika mengangkat badannya setelah ruku, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah saw, kepada orang yang terburu-buru dalam melakukan shalatnya, “Berdirilah, sampai kamu betul-betul merasa nyaman (ithmi’naan) dengan diri kamu itu.” Posisi I’tidal yang ideal adalah ketika tubuh kembali pada posisinya semula saat sebelum ruku. Ulama berpendapat, “Seorang pelaksana shalat jangan sampai berniat ketika bangun dari ruku untuk tidak niat I’tidal (tidak sengaja), seperti ketika ia melihat ular pada saat ruku sehingga ia segera bangun dari rukunya karena takut kepada ular tersebut. Lantas, gerakan bangunnya dari ruku yang seperti ini tidak akan dianggap sebagai gerakan sah dalam shalat.” Artinya, seorang pelakasana shalat harus bangun dari ruku dengan senyaman mungkin (thuma’ninah). Seperti yang telah kita ketahui, seorang pelaksana shalat pada waktu ruku, badannya membentuk posisi horizontal (tertekuk) dengan begitu, aliran darah si pelaksana shalat yang ada di daerah badan tidak akan terpengaruh dengan daya tarik gravitasi bumi. Dalam posisi tersebut, aliran darah dari jantung akan terpompa kea rah otak sehingga jumlah darah yang mengalir ke otak menjadi lebih besar. Disamping itu, otot bagian belakang kedua betis sepenuhnya akan terjulur (ekstensi), lalu otot itu akan segera diisi oleh aliran darah dalam kadar yang cukup banyak. Kemudian, ketika pelaksana  shalat berdiri setelah selesai melakukan ruku dan hendak sujud, otot kedua betis akan tertari (fleksi) kembali sehingga darah yang ada di dalamnya akan mengalir kembali ke jantung dengan cepat. Adanya penarikan (fleksi) dan pemanjangan (ekstensi) system otot ini membuat aliran darah berputar, yaitu ketika otot mengalami ekstensi maka ia akan dipenuhi dengan aliran darah, namun  ketika otot itu ditarik (fleksi) maka aliran darah akan ikut menyusut.
Selanjutnya, ketika pelaksana shalat melakukan gerakan untuk sujud, otot kedua kaki akan memaksa aliran darah mengalir menuju jantung. Lalu, pada saat sujud, darah akan menetap sebentar di kepala sedang sejumlah besar aliran darah akan terus mengalir deras kea rah kepala dan otak akibat adanya pompa jantung terhadap aliran darah menuju atas dan daerah inersia pada saat seorang pelaksana shalaht dalam posisi sujud. Namun, jika seorang pelaksana shalat tidak berniat dengan sengaja untuk bangun dari ruku maka tentu saja ia tidak akan berniat untuk berdiri tegak  (I’tidal). Gerakan ini (tanpa diniati) tidak mungkin akan terjadi kecuali jika ada hal-hal yang menakutkan bagi seorang pelaksana shalat. Sedangkan rasa takut dan kaget baru muncul setelah sampainya sinyal-sinyal yang dikirim  oleh urat saraf lewat saraf  nervus ulnaris otak, saraf simpatik, yaitu urat-urat saraf yang merespon hal-hal yang tidak diinginkan dari tubuh. Kemudian, saraf nervus ulnaris otak akan mengirimkan sinyal kaget dan takut itu kepada cairan kelenjar yang ada di atas ginjal pada saat munculnya rasa takut dengan mengeluarkan hormone adrenalin atau cairan adrenalin. Hormone ini muncul akibat adanya kontraksi pada pembuluh darah dengan bagian dalam perut hingga meluaskan pembuluh darah yang ada di hati, ginjal, dan system-sistem otot yang memproduksi gerakan. Di samping itu, hormone adrenalin juga dapat menambah tekanan aliran darah yang menuju otak, menambah detakan jantung, dan tekanan untuk buang air kecil. Karena itulah, bila seorang pelaksana shalat tidak berniat untuk bangun dari ruku, tetapi ia bangun karena kaget, maka akan muncul kekuatan lain yang dapat mempengaruhi  aliran darah, yaitu hormone adrenalin. Pengaruhnya tidak akan berhenti dengan cepat meskipun sebab rasa takut dan kaget itu telah hilang. Selanjutnya, ketika pelaksana shalat itu bersujud (setelah kaget atau takut), di dalam tubuhnya akan terdapat tiga kekuatan yang mendorong aliran darah menuju otak.
Bagi seorang yang dalam keadaan normal (sehat), munculnya tiga kekuatan ini secara bersamaan tidak akan melukai dirinya sama sekali, khususnya para olahragawan. Lain halnya bagi orang-orang yang memiliki tekanan darah tinggi, adanya tiga kekuatan pendorong aliran darah ini dapat menimbulkan sakit kepala akibat meningkatnya tekanan darah. Tidak jarang pula dapat menimbulkan rasa nyeri yang amat sangat akibat mengalirnya darah dalam jumlah besar menuju otak dengan tekanan yang cukup tinggi. Bahkan, keadaan tersebut dapat menyebabkan pecahnya beberapa pembuluh darah kapiler pada jaringan mata ataupun pembuluh darah kapiler yang ada di otak. Adapun salah satu efek dari hormone adrenalin terhadap pembuluh nadi, ia dapat menyempitkan jalur pembuluh tersebut  sehingga tekanan darah akan bertambah. Sedangkan kondisi ini, akan semakin menambah jumlah tekanan darah pada orang-orang yang memiliki penyakit tekanan darah tinggi sehingga dapat menyebabkan pecahnya beberapa pembuluh kapiler yang ada di jaringan mata dan otak. Dengan begitu, si penderitanya akan mengalami sakit kepala yang akut dan tidak jarang, peningkatan tekanan darah dapat membawa penderitanya mengalami pingsan sebagai reaksi spontan dari terjadinya peningkatan tekanan darah yang teramat tinggi. Karena inilah, ulama melarang pelaksana shalat untuk berdiri dari ruku dengan tiba-tiba (kaget) dan tidak menganggapnya sebagai bagian dari gerakan shalat. Mungkin saja, seorang muslim ketika melakukan shalat dapat mengeluarkan cairan kelenjar di atas ginjal berupa hormone adrenalin karena meningkatnya rasa tunduk dan takutnya kepada Allah SWT, sebagaimana yang digambarkan oleh Allah SWT tentang sifat orang-orang mukmin, Firman Allah SWT, yang artinya, “…..ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka…” (al-Anfaal: 2).
Andai saja keluarnya hormone adrenalin pada tubuh seorang pelaksana shalat itu karena adanya rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT dan membayangkan surge dan neraka. Namun sayangnya, kebanyakan munculnya hormone adrenalin dari pelaksana shalat karena ia bangun secara tiba-tiba dari rukunya dengan tidak didasari niat apa-apa (tidak sengaja). Akan tetapi, akibat adanya rasa takut dan kaget yang muncul setelah melihat ular atau hal-hal yang menakutkan lainnya sehingga menyebabkan keluarnya hormone adrenalin. Setelah itu, detakan jantungnya akan bertambah kencang sehingga memicu bertambahnya jumlah darah di otak dapat memudahkan seseorang mengalami rasa sakit, khususnya para penderita tekanan darah tinggi. Karena itulah, Rasulullah saw memerintahkan orang yang selalu terburu-buru dalam shalatnya untuk bangun dari ruku dengan santai sampai ia betul-betul berdiri (I’tidal) dengan tegak. Dari pemaparan ini, kita baru mengetahui hikmah di balik perintah Rasulullah saw, yang memerintahkan umatnya untuk tenang ketika bangun dan duduk di antara gerakan shalat. Secara otomatis pula, terlihat kekuasaan Allah, Sang Maha Pencipta dan Kuasa yang telah mengetahui dengan baik bentuk tubuh manusia dan hal-hal yang dapat memberi manfaat dan mudharat untuk tubuh mereka.

Oleh karena itu, hendaknya pelaksana shalat yang bangun dari ruku tanpa sengaja agar ia kembali ke posisi rukunya lagi sampai ia betul-betul merasa nyaman (ithmi’naan). Baru setelah itu, ia bangun lagi dari ruku dengan disertai niat untuk berdiri, meskipun pengulangan ruku yang ia lakukan hanya sebentar saja agar ia memberikan kesempatan kepada jantung untuk meredakan detakannya hingga mendekati batas normal dan tekanan darahnya dapat berkurang akibat adanya rasa takut yang memunculkan hormone adrenalin. Akhirnya, sangat wajar sekali bila kembali ke posisi ruku setelah bangun secara tiba-tiba (karena kaget atau takut) itu lebih baik dari pada meneruskan gerakan shalat dengan bersujud.

Rabu, 25 Juni 2014

Gerakan Bangun Dari Ruku Dan Bentuk-Bentuk Mukjizatnya

Gerakan Bangun Dari Ruku Dan Bentuk-Bentuk Mukjizatnya

Setelah seorang pelaksana shalat melakukan ruku, ia harus segera bangun dari ruku dengan cara seperti  yang diperintahkan oleh Rasulullah saw, dalam sabda beliau  kepada orang yang suka terburu-buru ketika melakukan shalat, “Berdirilah (dari ruku), sampai kamu betul-betul merasa nyaman (ithmi’naan) dengan berdiri kamu itu!”  Dengan begitu, gerakan bangun dari ruku dan I’tidal harus dilakukan dengan betul-betul nyaman, sebagaimana yang digambarkan oleh Abu Hamid al-
Ghazali tentang bentuk shalatnya Rasulullah saw, “Jika Rasulullah saw, bangun dari ruku maka beliau akan berdiri tegak sampai punggung beliau kembali seperti semula (tegak lurus).”
Siti Aisyah pernah bercerita tentang bentuk shalat Rasulullah saw, “Jika Rasulullah telah mengangkat kepalanya dari ruku maka beliau tidak akan sujud sebelum berdiri dengan tegak terlebih dahulu.”
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw, pernah bersabda, yang artinya; “Allah tidak akan memandang kepada seorang laki-laki yang tidak meluruskan tulangnya (punggung) antara ruku dan sujud ketika shalat.”
Batas kenyamanan (thuma’ninah) adalah berhenti sejenak setelah semua anggota tubuh kembali ke posisi semula. Para ulama memberikan batas minimal kenyamanan ini sepanjang bacaan tasbih. Diriwayatkan dari Ali bin Syaiban, Rasulullah saw, bersabda, yang artinya; “Tidak dianggap shalatnya seseorang yang tidak meluruskan punggungnya (tidak thuma’ninah) ketika ruku dan sujud.”
Dalil yang menguatkan harus adanya ketenangan sejenak setelah melakukan ruku dan sebelum sujud adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Rasulullah saw, jika mengucapkan sami’a Allah li man hamidah, beliau dalam keadaan berdiri tegak (agak lama), sampai kami mengira beliau bingung (apa yang dilakukan berikutnya).”
Dalam riwayat lain, “Sampai kami mengira beliau lupa.”  Artinya, Rasulullah saw, dianggap oleh sahabat sedang bingung atau lupa kalau sada sujud setelah ruku, karena beliau berhenti dalam waktu yang cukup lama. Kemudian, agar seorang  pelaksana shalat mampu mengangkat badannya ke posisi berdiri lagi, ia harus bisa menarik (fleksi) system otot punggung dan bokong, serta otot belakang kaki lalu diikuti dengan pelemasan (ekstensi) otot dada, perut, dan otot depan kaki. Dimana tiga otot terakhir bertugas menyeimbangkan berat badan dari daya tarik gravitasi bumi. Karena, kekuatan otot sendiri adalah kekuatan yang mampu melawan kekuatan yang lain. Jadi, ada sekumpulan system otot yang bertugas menyeimbangkan berat badan melawan daya tarik gravitasi bumi. Adapun proses mengangkat tubuh setelah selesai melakukan ruku merupakan proses pengembangan unsur kekuatan system otot pada otot bagian belakang kaki, otot bokong, dan otot punggung. Jika kita teliti dengan seksama tentang kadar pengembangan kekuatan system otot yang ada dalam gerakan shalat, maka kita akan menemukan bahwa posisi ruku lebih banyak mengembangkan kekuatan otot punggung dibandingkan otot perut. Begitu juga halnya pada saat bangun dari ruku. Dari sini, muncul pertanyaan dalam benak kita. Mengapa peningkatan unsur kekuatan system otot pada otot bagian depan yang ada di perut dan dada sama besarnya dengan peningkatan unsur kekuatan otot pada otot punggung? Padahal, kedua system otot itu selalu bekerja sama satu sama lainnya? Seseorang sangat mungkin mengalami kebungkukan badan kea rah depan akibat melemah dan ekstensinya system otot punggungnya. Keadaan ini sudah biasa terjadi karena banyaknya aktivitas hidup yang harus dilakukan oleh seorang anak manusia. Kemudian, seseorang juga biasa mengarahkan pandangannya kea rah depan ataupun bawah, sehingga terkadang kepalanya akan miring ke depan secara bertahap dan memaksa berat bagian atas kepala menekan kea rah bawah. Selanjutnya, tubuh manusia akan bungkuk ke depan secara bertahap. Akan tetapi, sangat jarang bila ada orang yang selalu menatap ke atas ataupun ke belakang. Karena itu, kepala tidak mungkin akan bergeser ke belakang kecuali hanya dalam beberapa kasus saja. Dari sini jelas, kemungkinan seseorang mengalami kebungkukan ke depan itu sangat besar, sedang keadaan ini (bungkuk) dapat menyebabkan lemah dan ekstensinya otot punggung. Selanjutnya, kita tentu belum pernah mendengar bila ada orang yang mengalami kebungkukan kea rah belakang. Dengan keadaan seperti ini, tentu saja seseorang itu butuh untuk dapat menguatkan system otot punggungnya agar lebih mampu melawan kebungkukan badan kea rah depan. Lantas, kesempatan untuk meningkatkan kekuatan system otot punggung ini dapat diperoleh dari posisi ruku dan bangun dari ruku. Kedua gerakan shalat ini dapat berfungsi sebagai penambah kekuatan system otot pada otot punggung dan perut, disamping juga dapat berfungsi sebagai pencegah dari terjadinya kebungkukan kea rah depan. Setelah seorang pelaksana shalat berdiri tegak usai melakukan ruku, ia diminta (sunnah) untuk mengangkat kedua sikunya dengan rata telapak tangan, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abudullah bin Umar, “Bahwa jika Rasulullah saw, akan memulai shalat, beliau akan mengangkat kedua tangannya dengan rata telapak tangan. Kemudian, jika beliau mengangkat kepalanya setelah ruku, beliau kembali mengangkat kedua tangannya lalu mengucapkan, sam’a Allah li man hamidah rabbana lakal hamdu.” Tetapi, beliau tidak mengangkat kedua tangannya pada waktu sujud.”
Juga terdapat hadits yang diriwayatkan dari Khalid bin Abdullah dari Abi Qilabah, “Jika Malik bin Huwarits akan mulai melakukan shalat, ia akan mengangkat kedua tangannya. Ketika ia hendak ruku, ia akan mengangkat kedua tangannya juga dan pada saat ia mengangkat kepalanya setelah melakukan ruku, ia kembali mengangkat kedua tangannya. Ia pernah berkata, ‘Bahwa seperti itulah (gerakan shalat) juga yang dilakukan oleh Rasulullah saw.” Adapun cara mengangkat kedua tangan dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Naafi’. “Rasulullah saw, ketika mengucapkan takbir, beliau akan mengangkat kedua tangannya sampai kedua telapak tangannya itu rata atau hampir rata.” Kemudian, cara mengangkat kedua tangan menurut ulama berdasakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat adalah hendaknya seorang pelaksana shalat mengangkat kedua tangannya sampai rata kedua telapak tangannya, dimana ujung jemari tangannya rata dengan ujung kupng sedangkan kedua ibu jari rata dengan daun telinga. Cara ini sama dengan mengangkat kedua tangan pada saat mengucapkan takbir ketika seseorang akan memulai shalatnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan seperti ini mengandung mukjizat, yaitu dapat meningkatkan kemampuan diafragma (sirkulasi paru-paru) dan dapat pula memperbaiki kerja berbagai macam organ tubuh lainnya. Setelah seorang pelaksana shalat mengangkat kedua tangannya ketika berdiri dari ruku, ia harus berdiam sejenak sebelum bersujud. Akan tetapi, gerakan berdiri usai ruku itu bisa terjadi tanpa di dasari niat ketika melakukannya, yaitu bisa jadi karena reaksi kaget terhadap sesuatu hal yang terjadi. Adapun syariat Islam, memiliki hukum khusus bila sampai seorang pelaksana shalat mengangkat badannya tanpa didasari niat ketika melakukannya. 

Bentuk-Bentuk Mukjizat Dari Ruku

Bentuk-Bentuk Mukjizat Dari Ruku

Literatur hadits banyak yang menggabungkan antara pentingnya ruku dan shalat itu sendiri. Seseorang bila masih bisa melakukan ruku (bila tertinggal waktu ataupun jamaah) maka ia dianggap telah melakukan satu rakaat. Juga, shalat biasa diberi nama tergantung banyaknya bilangan rakaat (ruku) dalam shalat tersebut. Dari sini muncul pertannyaan, kenapa ruku dianggap sangat penting

dalam ritual shalat? Karena itu, sudah tentu ruku lebih banyak  mengandung manfaat dan mukjizat dibandingkan gerakan-gerakan lainnya dalam shalat. Seorang pelaksana shalat agar bisa melaku-kan ruku, ia harus bisa menekuk otot bagian depan tubuh dan diikuti dengan perenggangan  secara bertahap otot bagian bela-kang tubuh.
Dengan kata lain, otot dada, perut, dan otot depan kedua kaki harus ditekuk, lalu diikuti dengan perenggangan otot punggung, otot belakang kedua kaki , dan otot bokong (pantat). Kemudian, adanya bobot tubuh yang relatif besar maka system otot-otot bagian belakang tubuh akan berupaya dengan maksimal untuk menjaga kestabilan posisi tubuh ketika ruku. Beberapa hadits sebelumnya menyebutkan bahwa seorang laki-laki harus menjauhkan kedua sikunya dari badan. Artinya, agar kedua siku itu bisa menjauh dari bagian tubuh tentulah keduanya tidak dalam posisi menjulur ataupun tegak lurus, yaitu ia agak melipat (fleksi) kedua sikunya. Pada posisi terlipatnya dua siku, otot keduanya harus lebih bekerja keras dibandingkan ketika keduanya berada dalam posisi tegak lurus, karena kedua siku harus mampu menahan bobot berat badan pada saat melakukan ruku dan juga pada saat menjaga kelurusan punggung.
Hadits yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib sebelumnya menegaskan bahwa punggung seorang pelaksana shalat itu harus lurus sebagaimana yang terdapat dalam teks hadits yang berbunyi , “Jika diletakkan tempat air di atas punggung maka tempat air itu tidak akan jatuh, “ artinya tidak tumpah sama sekali. Demi terciptanya ruku yang benar, pelaksana shalat harus mencondongkan sedikit kedua kakinya ke arah belakang agar dapat memindahkan pusat berat badan ke dalam tiang penyangga. Posisi kecondongan (sedikit) kedua kaki ini menyebabkan terjadinya tarikan besar di system otot bagian belakang kedua kaki sehingga otot akan lebih memanjang. Pemanjangan yang terjadi pada otot sangat bermanfaat bila sampai terjadi lekukan beruntun yang dialami oleh otot belakang kedua kaki pada saat berjalan ataupun berlari. Sedangkan otot belakang kaki tidak akan dapat ekstensi secara memadai kecuali jika dilakukan gerakan ruku ataupun gerakan semisalnya. Di samping itu, adanya pemanjangan otot belakang kaki akan menambah kemampuannya dalam menekuk sehingga seseorang akan dapat berjalan ataupun berlari dengan lincah.
Pemanjangan otot belakang kaki juga akan menambah kelenturan tubuh, karena salah satu unsur olahraga adalah mengetahui sejauh mana kemampuan gerak persendian tertentu ataupun kerja sama kumpulan persendian. Dengan begitu, adanya ekstensi otot belakang kaki akan menambah kemampuan gerak seseorang ketika ia melipat badan ke depan, sedangkan dilakukannya posisi (ruku) sama saja seseorang sedang melatih peningkatan kelenturan tubuhnya. Sedangkan bila terjadi penyusutan (fleksi) pada otot belakang kaki akan menyebabkan condongnya (bungkuk) tulang pinggul kea rah depan sehingga dapat menyebabkan bertambahnya lengkungan daerah rawan. Berikutnya, dengan semakin bertambahnya lengkungan daerah rawan akan diikuti pula meningkatnya tekanan terhadap saraf nutrisi di daerah belakang kaki yang lebih dikenal dengan otot pangkal paha (encok). Di samping itu, akan bertambah pula tekanan terhadap sisi luar persendian tulang rawan dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan tulang rawan  (rematik). Sedangkan bila kaki condong sedikit ke belakang dan badan terlipat ke depan dengan posisi lurus tegak akan dapat mengurangi sudut lengkungan tulang pinggul dari posisi tulang belakang. Adapun usaha agar punggung tetap berada pada posisi lurus tegak membuat otot punggung harus bekerja keras ketika menyeimbangkan bobot badam. Kemudian, pada saat otot ini tidak difungsikan lagi, ia akan tetap dapat bekerja dengan baik untuk mencegah bertambahnya cekungan di daerah rawan.
Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa posisi ruku itu dapat membuat otot belakang kaki lebih berfungsi sehingga mampu menambah kelenturan persendian-persendian kaki, di samping juga dapat menguatkan otot punggung dan perut sebagai reaksi alami dari usaha yang diberikan oleh otot-otot tersebut ketika menjaga kestabilan posisi tubuh pada saat melakukan ruku. Posisi ruku juga menguatkan otot kedua siku karena telah membuatnya ikut membantu menahan bobot badan pada saat ruku. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Mus’ab bin Sa’ad, ia berkata, “Aku pernah melakukan shalat di samping ayahku, lalu aku merapatkan telapak tanganku dan meletakkannya di paha. Tetapi kemudian, ayahku melarang tindakanku itu seraya berkata, “Dulu , kami juga pernah melakukan hal yang sama (seperti yang kamu lakukan, tetapi Rasulullah saw melarangnya) dan memerintahkan kami agar meletakkan tangan di lutut.”
Mengapa Rasulullah saw, memerintahkan umatnya agar meletakkan kedua tangan di lutut pada waktu ruku?, lalu beliau melarang umatnya untuk meltakkan kedua tangan di paha? Lantas, apa yang akan terjadi bila seseorang meletakkan kedua tangannya di paha?
Jawabannya, pertama; bila seseorang meletakkan kedua tangannya di antara kedua paha maka akan menyebabkan bergesernya dua pundak dan efeknya, punggungnya akan menjadi bungkuk. Hal itu disebabkan karena posisi kedua tangan yang berada di antara kedua paha tidak akan membuat punggung menjadi rata, malah hal itu akan membuat rongga dada menjadi sempit sehingga menyulitkan proses pernapasan dan mengurangi kemampuan difragma (sirkulasi kerja paru-paru) yang normal. Kemudian, bila sampai terjadi pengurangan kemampuan diafragma maka akan mengurangi kadar oksigen yang terkandung dalam tubuh, lalu produksi hemoglobin darah akan ikut berkurang, yang  pada akhirnya, darah penyuplai nutrisi ke sel-sel dan system otot akan berkurang juga. Setelah itu, bila tubuh kekurangan suplai nutrisi dan protein maka akan mengurangi kamampuan dan kecepatan tubuh dalam menyingkirkan bahan-bahan sisa metabolism. Namun, bila kekurangan suplai nutrisi dan protein itu dialami oleh otak maka kondisi tersebut akan mengurangi kecepatan pengangkutan zat-zat sisa metabolism  di sel otak sehingga penderitanya akan merasa cepat stress dan ototnya cepat lemas hanya dalam waktu yang relative cepat.
Kedua;  seorang pelaksana sholat bila meletakkan kedua tangannya di antara kedua paha maka ia harus menarik salah satu kakinya mendekat dengan kedua paha agar bisa dicapai oleh telapak tangannya. Sedangkan penarikan salah satu kaki ini tidak membuat jarak antara kedua kaki selebar dua tumit sehingga menyebabkan tidak adanya keseimbangan pada tubuh dan membuat orang yang melakukannya akan sempoyongan/ tidak seimbang, sama sekali tidak dapat membuat seseorang merasa khusyu dan nyaman di hadapan Allah SWT.
Adapun cara lainnya untuk merapatkan kedua paha sehingga dapat dicapai oleh telapak tangan adalah dengan cara mendekatkan kedua lutut tanpa memindahkan posisi kedua kaki. Posisi seperti ini membuat sebagian besar bobot tubuh hanya berada di sisi dalam kedua kaki sehingga dapat menyebabkan turunnya cekungan telapak kaki, kelainan ini lebih dikenal dengan ratanya telapak kaki (flat foot).
Adapun meletakkan kedua tangan di atas lutut dengan cara yang disebutkan  oleh hadits-hadits, yaitu merenggangkan jemari tangan di atas lutut dan membiarkannya menjulur di atas betis, akan menjamin posisi kedua lutut tetap terjulur tegak dan tidak menyebabkan terjadinya penyempitan pada system otot belakang kaki ketika seorang pelaksana shalat melakukan ruku. Juga, perenggangan jemari tangan di atas lutut membantu tempurung lutut agar tetap berada di tempatnya yang benar. Berbeda halnya dengan apa yang dilakukan oleh beberapa orang yang mencengkeram lututnya, posisi ibu jarinya mengarah kea rah luar dan sisa jarinya yang lain mengarah kea rah yang lain lagi. Posisi seperti ini menyebabkan terjadinya penekanan terhadap ujung  atas tempurung lutut sehingga membuat tempurung lutut tidak berada di tempatnya yang benar. Mengapa bisa terjadi perbedaan pada cara meletakkan kedua siku antara kaum lelaki dan perempuan?
Menurut ilmu anatomi tubuh manusia, di daerah pundak itu terdapat tulang berbentuk segitiga yang dasarnya menghujam ke atas sedangkan ujungnya menancap ke bawah. Tulang ini berada di belakang pundak (bawah) dan lebih dikenal dengan tulang belikat. Tulang ini membatasi gerak punggung ketika ia berputar ataupun tegak lurus. Kemudian, ketika seseorang mengangkat kedua sikunya sejajar dengan kedua bahun dan agak ditekan sedikit kearah  belakang maka akan terjadi dorongan dari sisi luar tulang (tulang luar belikat). Kepada tulang belikat untuk mengarah ke depan dan akhirnya membuat punggung itu menjadi lurus dan kedua pundak tidak berputar. Namun, ketika kedua siku diangkat tinggi-tinggi sehingga posisinya berada di atas daun telinga, lalu agak ditekan sedikit ke belakang maka posisi seperti ini dapat mendorong dasar tulang belikat lebih ke belakang sehingga menyebabkan ujung tulang belikat terdorong ke depan, dan keadaan seperti ini dapat menyembuhkan kelainan kebungkukan pada pundak yang mengarah ke depan.
Adapun perenggangan dua siku (menjauh dari badan) yang dilakukan oleh kaum lelaki pada saat mereka melakukan ruku dapat mendorong dasar dan sisi luar tulang belikat lebih ke belakang. Posisi ini dapat menyembuhkan dua pundak yang mengalami pergeseran dan punggung yang bungkuk secara bersama dalam satu waktu. Dengan begitu, punggung dapat kembali lurus dan dua pundak kembali ke posisinya semula. Disamping itu, gerakan perenggangan dua siku dapat membuat dada bertambah luas sehingga kemampuan diafragma (sirkulasi paru-paru) juga akan ikut bertambah besar. Selanjutnya, bertambahnya proses diafragma dapat membantu tubuh lebih cepat sehingga dapat menunda timbulnya perasaan lelah pada system otot. Bagi kaum perempuan, yaitu adanya dua payudara di daerah dada membuat mereka jarang mengalami pergeseran bahu. Karena itu, adanya dua payudara di dada wanita dapat menjaga kelursan punggung, tetapi adanya payudara itu tetap tidak dapat melindungi mereka (wanita) dari terjadinya kebungkukan. Sebab itulah, ketika kaum perempuan merapatkan kedua siku mereka ke badan pada saat melakukan ruku maka posisi ini dapat mendorong kedua bahu unutk lebih ke atas mengarah ke kepala ataupun kea rah belakang, sehingga dapat mencegah terjadinya kebungkukan pada tubuh mereka ataupun bergesernya dua bahu kea rah depan dan akhirnya punggung akan kembali lurus. Dari sini jelas alas an mengapa terjadinya perbedaan cara meletakkan dua siku antara lelaki dan perempuan seperti yang diajarkan oleh Rasulullah saw. Namun, meskipun terjadi perbedaan cara peletakkan kedua siku antara kaum lelaki dan perempuan, tetap saja kedua cara tersebut dapat mencegah tubuh dari mengalami kelainan pergeseran dua bahu dan kebungkukan. Ataupun, kedua kelainan ini akan segera dapat disembuhkan bila memang diderita oleh pelaksana shalat (laki-laki atau perempuan).
Tinjauan Fisiologis
Menurut ahli fisiologi, posisi ruku, lurusnya punggung dan sejajarnya kepala dengan bokong pada waktu ruku, menyebabkan gerakan darah dalam tubuh itu berada di bawah dua kekuatan besar; kekuatan atas, yaitu daya pompa jantung pada darah dan kekuatan bawah, yaitu daya gravitasi bumi (daya tarik bumi terhadap darah). Di samping itu, penarikan (fleksi)system otot pada dua bagian bawah (paha dan betis) memaksa aliran darah untuk mengambil jalan atas menuju jantung. Itulah daerah-daerah yang dapat mempengaruhi peredaran darah. Dalam posisi ruku, punggung akan berada sama rata dengan tanah dan posisi ini dapat menghilangkan pengaruh kekuatan gravitasi bumi terhadap darah di daerah dada dan kepala. Sehingga kemampuan daya pompa jantung pada darah hanya mengarah ke kepala tanpa dipengaruhi oleh daya gravitasi yang dapat mengurangi kekuatan daya pompa jantung. Karena itulah, kadar darah di kepala akan bertambah besar dan dapat berefek pada hal berikut;
1.         Bertambahnya jumlah darah yang menyuplai nutrisi untuk sel-sel di otak sehingga dapat membantu meningkatkan kemampuan otak dalam bekerja sebagai hasil dari melimpahnya jumlah hemoglobin darah yang bersih dan penuh protein.
2.         Melimpahnya jumlah darah di otak berarti akan menambah jumlah darah yang akan kembali ke jantung dan paru-paru. Dengan begitu, semakin bertambah pula kemampuan dalam mengangkut zat-zat sisa metabolism dari sel yang ada di otak dan pada akhirnya dapat memperbaharui kerja otak dan dapat menunda stress.
3.         Bertambahnya jumlah darah yang mengalir ke otak dapat membantu menyembuhkan sakit kepala akibat terlalu banyaknya berpikir dan menumpuknya sisa-sisa metabolism dalam tubuh.
4.         Bertambahnya jumlah darah yang mengalir ke otak dapat menyebabkan otak menjadi lebih segar sebagai hasil dari bertambahnya jumlah oksigen dan nutrisi, serta bertambahnya kemampuan mengangkut zat-zat sisa metabolism dari sel yang ada di otak. Disamping itu, melimpahnya jumlah darah di otak dapat membantu menyembuhkan sakit kepala yang disebabkan tekanan darah rendah dan sakit kepala akibat kekurangan kadar oksigen di otak yang dapat membuat otak tidak mampu untuk membakar protein yang ada dan juga memproduksi energy yang cukup untuk berpikir.
Kemudian, posisi ruku dapat menyembuhkan—akibat melimpahnya suplai darah di otak – sakit kepala yang disebabkan dari penyakit hati dan lemah hati.
Disamping itu, melimpahnya suplai darah di kepala pada saat melakukan ruku dapat memperbaiki kemampuan memandang dan daya penglihatan, khususnya bagi mereka yang mengidap penyakit hati dan tekanan darah rendah. Biasanya kemampuan pandangan mata sangat dipengaruhi oleh penyakit tekanan darah rendah. Bahkan tidak jarang, pandangan mata yang tidak jelas muncul akibat kurangnya suplai darah kea rah mata. Selanjutnya, daya grafitasi bumi dapat mempengaruhi peredaran darah di daerah paha dan betis pada saat seseorang melakukan ruku. Di samping, posisi tersebut dapat melonggarkan otot kaki. Dengan begitu urat saraf dan pembuluh darah yang ada pada system otot kaki akan dipenuhi dengan suplai darah. Setelah seorang pelaksana shalat selesai melakukan ruku, ia di minta untuk berdiri dulu sebentar, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasul saw, kepada orang yang tergesa-gesa dalam melakukan shalatnya, “Rukulah sampai kamu merasa nyaman (ithmi’naan) dengan rukumu,  setelah itu, berdirilah (bangun dari ruku) sampai kamu merasa nyaman (ithmi’naan) dengan berdirimu (I’tidal).” Setelah bangun dari ruku, seorang pelaksana shalat diperintahkan untuk segera sujud, maka pada saat ingin sujud, system otot kedua kaki akan kembali terlipat (fleksi) dan darah yang ada di kedua kaki akan naik lagi ke jantung dengan berada di bawah pengaruh dua kekuatan. Pertama, kekuatan dorongan otot terhadap darah akibat dilipatnya kaki dengan cepat pada saat ingin sujud. Kedua, kekuatan inersia (ketidaksanggupan untuk bergerak cepat secara spontan) yang masih menyimpan darah akibat berdiri diam (I’tidal) dalam beberapa waktu kemudian dipaksa untuk segera bergerak ke bawah (sujud). Karena itulah, posisi ruku dan diikuti gerakan sujud  dapat menyembuhkan penyakit pembengkakan pada betis (varises). Penyakit ini dapat terlihat berupa garis-garis biru yang menonjol di betis akibat menetapnya sejumlah darah di dalam urat dan tidak mengalir, karena jantung tidak mampu menyedotnya ataupun lemahnya katup urat saraf yang ada di daerah betis. Dengan begitu, jumlah darah yang ada di dalam urat betis akan bertumpuk sehingga menyebabkan munculnya cabang-cabang baru urat yang berwarna biru di daerah betis. Biasanya, pembengkakan betis banyak terjadi pada orang-orang yang harus berdiri lama ketika bekerja, seperti tentara kaveleri, tukang cukur, dan lain-lain. Kelainan-kelainan di atas tidak akan dialami oleh seorang pelaksana shalat bila ia melakukan rukunya dengan nyaman seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw. Dalam sabdanya, yang artinya; ketika mengarahkan orang yang selalu terburu-buru dalam shalatnya, “Rukulah hingga kamu merasa nyaman dengan rukumu (ithmi’naan)”.
Dalam hadits lain, Rasulullah saw, sering kali melakukan ruku dalam waktu yang relative lama. Seperti hadits yang diriwayatkan dari Ali r.a, “Nabi saw, ketika ruku beliau biasanya mengucapkan; “Ya Allah, hanya untuk Mu aku ruku, hanya kepada Mu aku beriman dan menyerahkan diriku. Engkaulah satu-satunya Tuhanku! Pendengaranku, penglihatanku, pikiranku, dan tulangku tunduk semuanya kepada Mu. Aku menyerahkan pengaturan mereka semuanya hanya kepada Allah, Tuhan semesta alam”.
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, “Rasulullah saw, pada saat ruku dan sujud biasa mengucapkan, Subuuhu qudduusu rabbul malaa ikati warruuh”.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Auf bin Malik al-Asyjaa’iy, ia berkata, “Suatu hari, aku pernah ikut shalat malam bersama Rasulullah saw, lalu beliau membaca surah al-Baqarah sampai ayat sekian. Kemudian, pada saat ruku beliau membaca, “Subhaanallahi dziil habaruut; wal malakuuti wal kibriyaa iy wal ‘adhomah).”
Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw, sering kali pada waktu ruku dan sujudnya membaca, “Subhaanakallahumma rabbana wa bihamdikallahummagh firliy yatawwal.”
Diriwayatkan dari ibnu Juraij, ia berkata, “Athaa pernah ditanya, ‘Biasanya, kamu mengucapkan apa pada waktu ruku? Ia menjawab, ‘Biasanya pada waktu ruku aku mengucapkan, “Subhaanaka wa bihamdika laa ilaaha illa anta.”
Dari beberapa hadits di atas, kita dapat memahami bahwa waktu ruku itu agak relative panjang, karena diisi dengan membaca tasbih seperti yang diceritakan oleh para sahabat. Pada saat ruku seperti itu, tubuh akan berusaha keras untuk menjaga posisinya agar tetap stabil. Adapun otot tubuh pada waktu ruku akan bekerja lebih keras dibandingkan pada saat berdiri. Dari sinilah, kita akan melihat adanya peningkatan kuantitas kerja yang dilakukan oleh tubuh selama melakukan gerakan-gerakan shalat. Ini artinya, penyeimbangan yang dilakukan oleh system otot tubuh pada waktu shalat  akan terus bertambah dari satu gerakan ke gerakan berikutnya, dan berarti pula terjadinya peningkatan pada unsur kekuatan system otot. Dalam upaya menjaga keseimbangan tubuh pada waktu ruku yang dilakukan sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw, meski dilakukan hanya dalam waktu sebentar saja, tetap dapat meningkatkan daya ketahanan system otot dan hal ini merupakan salah satu tujuan berolahraga, yaitu kemampuan otot untuk melakukan aktivitas dalam waktu yang relative lama. Dalam gerakan shalat, terjadi pula peningkatan berat secara bertahap yang harus ditahan oleh system otot antara waktu berdiri ketika shalat dan ruku, lalu gerakan untuk sujud (jongkok) dan sujud. Ringkasnya, posisi ruku ketika shalat dapat meningkatkan kelenturan system otot sebagai reaksi alami dari gerakan condong ke depan, lalu diikuti upaya menjaga kelurusan punggung dan keseimbangannya dalam waktu tertentu. Gerakan tersebut membantu meningkatkan unsur kekuatan system otot, karena otot harus bekerja keras dalam menjaga keseimbangan bobot tubuh agar tidak terjatuh karena daya tarik gravitasi bumi. Kerja keras tersebut bisa menghasilkan keseimbangan kemampuan yang sangat sulit di dapat oleh system otot, yaitu peningkatan unsur kelenturan otot dan unsur ketahanannya sekaligus, tanpa ada yang saling tumpang tindih di antara kuduanya.
Adanya gerakan-gerakan shalat yang sangat bermanfaat seperti itu, seakan-akan Allah SWT ingin memberi pelajaran berharga kepada para pelatih olahraga tentang cara menghasilkan keseimbangan kemampuan yang sangat sulit didapat ketika meningkatkan dua unsur sekaligus, yaitu ketahanan dan kelenturan otot secara langsung dalam satu waktu. Sebagai  Zat Pelatih yang paling agung di muka bumi ini –Allah SWT lebih mulia dari analogi ini –Allah ingin memberikan pelatihan kepada hamba-hamba-Nya lewat gerakan-gerakan shalat. Kemudian, latihan ini dipraktekkan dengan sangat benar oleh Rasulullah saw, lalu beliau mengajarkan lagi latihan tersebut kepada umatnya setelahnya. Allah SWT mengajarkan latihan olahraga yang terkandung dalam gerakan-gerakan shalat tidak bertujuan agar kita dapat memperoleh piala olahraga, sehingga jangan sampai ada orang yang berkata, “Mengapa umat Islam tidak bisa meraih juara satu pada event-event olahraga, padahal mereka rajin melakukan shalat yang bisa dianggap sebagai salah satu latihan rutin olahraga mereka?” Ketahuilah, pelatihan yang Allah siapkan untuk kita tidak bertujuan agar kita bisa meraih juara dalam bidang olahraga. Karena, kemengan sendiri bukanlah tujuan utama dari berolahraga. Akan tetapi, Allah menyiapkan diri kita agar mampu menjalankan misi kita di dunia ini, yaitu ibadah kepada Allah SWT dengan cara menjalankan apa yang diwajibkan oleh Allah kepada kita semua dan juga ibadah-ibadah sunnah lainnya. Allah SWT tidak pernah membebani kita hal-hal lainnya, selain ibadah kepada-Nya. Hal ini tercermin dalam firman-Nya yang artinya, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi –Ku makan.” (adz-Dzaariyaat: 56-57).
Adapun shalat, seperti yang digambarkan oleh Rasulullah saw, yang artinya; “Puncak segala urusan adalah Islam, sedangkan tiangnya adalah shalat, adapun puncak punuknya (keteguhan) adalah jihad di jalan Allah.”

Jadi, shalat adalah tiang agama, siapa yang mendirikan shalat maka ia telah mendirikan agamanya dan siapa yang telah menghancurkannya (melalaikannya) maka ia telah menghancurkan agamanya. Disamping itu, shalat adalah cara penyegaran tubuh yang diberikan dari Allah SWT bagi seorang muslim. Siapa yang rajin melakukannya maka ia akan mampu melakukan ibadah-ibadah lainnya dan siapa yang melalaikannya maka tubuhnya belum tentu segar, sehingga mana mungkin ia dapat melakukan ibadah-ibadah lainnya dengan penuh. Karena itulah, dalam agama, shalat bagaikan tiangnya seperti yang digambarkan oleh Rasulullah saw, diatas.

Selasa, 24 Juni 2014

Keutamaan Ruku dan Bentuknya


KEUTAMAAN RUKU DAN BENTUKNYA

Pentingnya posisi ruku dalam shalat sama pentingnya dengan shalat itu sendiri. Adanya ruku’ jenis shalat dapat diukur, yaitu kita menyebut shalat subuh dengan dua rakaat (dua kali melakukan ruku) dan shalat zhuhur dengan empat rakaat (empat kali melakukan ruku). Dengan kata lain, shalat dibatasi dengan bilangan rakaatnya (ruku). Adapun dalil hukum wajib ruku itu sendiri terdapat dalam al-Quran, hadits, dan ijma (kesepakatan) umat Islam.
Allah telah memerintahkan kita untuk ruku dalam firman-Nya yang artinya; ‘Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, suduj kamu…” (al-Hajj: 77).
Bahkan, Rasulullah saw, pernah memerintahkan umatnya untuk merasa rendah dalam shalat mereka, seraya berkata, “ Rukulah sampai kamu merasa tenang dengan ruku itu!”  Terdapat hadits-hadits lainnya yang menegaskan tentang pentingnya ruku dalam shalat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah saw, pernah bersabda, yang artinya; Siapa yang mendapat ruku ketika tertinggal shalat maka ia telah mendapatkan satu rakaat.”  Diriwayatkan dari Abu Hurairah juga, Rasulullah saw, pernah bersabda, yang artinya; “Siapa yang mendapatkan satu ruku ketika mengerjakan shalat Subuh sesaat sebelum terbitnya matahari maka ia telah mendapatkan shalat Subuh tersebut (tidak dihitung qadha). Siapa yang mendapatkan satu ruku ketika mengerjakan shalat Ashar sesaat sebelum terbenamnya matahari maka ia telah mendapatkan shalat Ashar tersebut (tidak dihitung qadha).” Dari hadits-hadits diatas, dapat kita lihat betapa pentingnya ruku itu. Diriwayatkan dari Naafi’, Abdullah bin Umar Ibnul Khaththab pernah berkata, “Jika kamu ketinggalan ruku maka sujud kamu tidak dihitung (tidak terhitung satu rakaat).”
Diriwayatkan dari Malik, ia diberi tahu bahwa Abdullah bin Umar dan Zaid bin Tsabit keduanya pernah berkata, “Siapa yang mendapat satu ruku maka ia mendapat satu sujud (rakaat).” Dari sini dapat terlihat, ruku sama pentingnya dengan shalat. Adapun cara ruku yang baik telah digambarkan oleh hadits-hadits para sahabat r.a. dimana mereka memberi perhatian sangat besar terhadap gerakan-gerakan shalat, bahkan menggambarkannya dengan sangat detail, seakan-akan kita sedang melihat Rasulullah saw, melakukan shalat. Perlu diketahui, ketika ruku, seseorang harus membungkukkan badannya sampai kedua tangannya menyentuh dua lutut. Adapun sunnah yang terdapat dalam ruku adalah meratakan kepala dengan bokong, bertopang dengan kedua tangan yang menempel pada kedua lutut dan kedua tangan agak renggang ke samping, merenggangkan jemari tangan di atas lutut, serta melemaskan punggung. Cara ruku ini terdapat dalam beberapa hadits, seperti berikut ini. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir, “Ia melakukan ruku dengan menyampingkan (merenggangkan) kedua tangannya, meletakkan kedua tangannya di atas lutut, dan merenggangkan jemari  tangannya di atas lutut. Lalu Uqbah berkata, “Seperti inilah aku melihat Rasulullah saw, melakukan shalat.”
Diriwayatkan dari Abu Hamid, Rasulullah saw, jika melakukan ruku maka beliau melakukannya dengan lurus (punggungnya) dan kepala beliau tidak turun ke bawah ataupun menaikkannya ke atas. Rasulullah saw, juga meletakkan kedua tangannya di atas lutut sambil mencengkeram kedua lututnya.”
Diriwayatkan  dari Aisyah r.a, ia berkata, “Rasulullah saw, memulai shalat itu dengan mengucapkan takbir lalu membaca surah al-Fatihah. Ketika beliau ruku, kepalanya tidak ditundukkan ataupun dinaikkan, tetapi berada di tengah-tengah. Kemudian , ketika beliau mengangkat kepalanya dari ruku, beliau tidak langsung sujud, tetapi berdiri tegak terlebih dahulu. Ketika mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak langsung sujud lagi (sujud kedua), tetapi duduk sebentar dulu. Beliau selalu membaca kalimat tasyahhud setiap menyelesaikan dua rakaat. Ketika duduk, beliau membentangkan (merebahkan) telapak kaki kirinya (inversi) dan membiarkan tegak telapak kaki kanannya. Beliau melarang umatnya untuk duduk dengan cara duduk setan dan melarang pula seorang laki-laki untuk merebahkan kedua sikunya (di atas tanah) seperti yang dilakukan binatang buas. Kemudian, beliau menutup shalatnya dengan mengucapkan salam.”
Maksud dari “cara duduk setan” adalah seorang pelaksana shalat duduk di atas bokongnya dang mengangkat kedua betis dan pahanya, lalu ia meletakkan kedua tangannya ke tanah. Posisi ini sama seperti jongkoknya anjing atau binatang buas.
Diriwayatkan dari Ali r.a, “Rasulullah saw, jika sudah ruku (punggungnya akan sangat lurus) sehingga jika diletakkan sebuah tempat air di atas punggung beliau itu, tempat air itu tidak akan terjatuh.”
Diriwayatkan dari Mus’ab bin Sa’ad, ia berkata, “Aku pernah melakukan shalat di samping ayahku, lalu aku merapatkan telapak tanganku dan meletakkannya di paha. Tetapi kemudian, ayahku melarang tindakanku itu (meletakkan tangan dengan posisi tersebut), seraya berkata, “Dulu, kami juga pernah melakukan hal yang sama (seperti yang kamu lakukan tetapi Rasulullah melarangnya) dan memerintahkan kami untuk meletakkan tangan di lutut.”
Abu Hamid pernah berkata di antara teman-temannya, “Nabi saw, melakukan ruku sampai punggung beliau betul-betul rata.”

Dari sejumlah hadits di atas yang berbicara tentang hukum ruku dan cara melakukannya, dapat kita simpulkan bahwa seorang pelaksanan shalat harus mengangkat kedua tangannya sampai kedua bahunya rata ketika ia mengucapkan takbir pada saat hendak ruku. Takbir itu baru berhenti setelah ia selesai menyempurnakan posisi rukunya, yaitu badan condong ke arah bawah depan, lalu ia meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua lututnya ketika ruku dengan merenggangkan jemari tangan di atas lutut dan membiarkan jemari itu menjulur ke bawah dan tidak ke belakang seperti yang dilakukan beberapa orang. Setelah itu pelaksana shalat harus meluruskan kedua lutunya dan jangan melipatnya, lalu membiarkan punggungnya lurus, sedangkan leher dan kepalanya berada sama rata dengan punggung (sejajar) dan jangan membiarkan kepalanya lebih rendah atau lebih tinggi dari punggung, serta ia merenggangkan kedua sikunya dari badannya. Kaum wanita memiliki perbedaan dalam cara melakukan ruku, mereka lebih merapatkan anggota tubuhnya dan tidak merenggangkan kedua sikunya dari badan, tetapi memasukkan kedua sikunya di bawah tubuh, lalu membaca subhanallaah rabbiyal ‘azhiimi  sebanyak tiga kali, tetapi jika lebih banyak hingga tujuh atau sepuluh akan lebih baik.

Jumat, 06 Juni 2014

Posisi Kedua Tangan Pada Saat Berdiri

Posisi Kedua Tangan Pada Saat Berdiri
HADITS yang berbicara tentang peletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan berada di atas dada ketika shalat itu berjumlah kurang lebih dua puluh hadits dengan delapan belas jalur sanad dari para sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan langsung dari Rasulullah saw. Diantaranya, hadits yang diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad, ia berkata, “Semua orang diperintahkan untk meletakkan tangan kanannya di atas persendian tangan kiri ketika shalat.”
Abu Hazim berkata, “Hadits ini yang aku tahu tidak memiliki sanad yang tersambung langsung dengan Rasulullah saw.” Diriwayatkan dari Jabir, ia berkata, “Suatu ketika, Rasulullah saw, melewati seorang laki-laki yang sedang shalat, sedangkan lelaki itu menaruh tangan kirinya di atas tanan kanannya maka Rasul pun memperbaikinya dan menaruh tangan kanan lelaki itu di atas tangan kirinya.” Adapun tempat menaruh dua tangan ketika berdiri terdapat dalam beberapa hadits yang menyatakan bahwa Rasulullah saw, meletakkan dua tangan beliau di atas dada. Di antaranya, hadits yang diriwayatkan dari Halab ath-Thaa’iy, ia berkata, “Aku pernah melihat Rasulullah saw, menaruh tangan kanan beliau d atas tangan kirinya dan meletakkan di atas dada dengan hanya memegang pergelangan tangan saja.”
Hadits lain, diriwayatkan dari Wa’il bin Hajar, ia berkata, “Aku pernah melakukan shalat bersama Rasulullah saw, dan beliau ketika itu menaruh tangan kanan di atas tangan kiri dan meletakkannya di atas dada.” Hadits ini dinyatakan shahih dan diriwayatkan juga oleh Abu Dawud, sedangkan Nasaa’I meriwayatkannya dengan “kemudian beliau menaruh tangan kanannya di atas punggung tangan kirinya, juga pergelangan tangan dan lengan bawah (tangan).” Artinya, Rasulullah saw, menaruh tangan kanannya di atas tangan kiri, berikut pergelangan tangan dan lengan bawah beliau.
Adapun detail peletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah meletakkan telapak tangan kanan diatas pergelangan tangan kiri, dimana jari manis dan jari tengah berada ekstensi (menjulur) di pergelangan tangan kiri, sedangkan ibu jari, kelingking, dan jari telunjuk mengapit lengan bawah tangan kiri. Diriwayatkan dari Abdul Karim bin Abi al-Makhaariq al-Bashri, ia berkata, “Termasuk perkataan para nabi, ‘Jika kamu tidak merasa malu maka lakukanlah apa yang kamu suka,’ yaitu menaruh salah satu tangan di atas tangan yang lainnya ketika melakukan shalat (menaruh tangan kanan diatas tangan kiri), mempercepat buka puasa, dan bersantai (menunda-nunda) ketika makan sahur.”
Diriwayatkan dari Wa’il bin Hajar, ia berkata, “Aku melihat Nabi saw, mengangkat kedua tangannya sampai rata dengan kedua telinga beliau ketika ingin memulai shalat, baru setelah itu mengucapkan takbir. Kemudian, beliau melipat kain bajunya, lalu menaruh tangan kanan di atas tangan kiri. Lantas, ketika beliau hendak ruku maka beliau akan mengeluarkan tangannya dari baju lalu mengangkat keduanya dan mengucapkan takbir, baru setelah itu beliau ruku. Selanjutnya, ketika beliau mengucapkan sami’a Allah li man hamidah, beliau mengangkat kedua tangannya lagi. Lantas, ketika sujud, beliau akan sujud di antara dua telapak tangannya.”
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Nabi saw, melihatku sedang menaruh tangan kiri di atas tangan kanan ketika berdiri untuk shalat maka beliau mengubahnya dan menaruh tangan kananku di atas tangan kiriku.”

Hanya saja, ada beberapa orang dari umat Islam ini yang telalu berlebihan ketika menaruh tangan kanannya di atas tangan kiri sampai meletakkan telapak tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri. Padahal, gerakan tersebut tidak sesuai dengan apa yang terdapat dalam sunnah Rasulullah saw. Disamping itu juga, ada efek dari peletakkkan tangan yang salah ini terhadap munculnya kelainan berupa bergesernya kedua bahu dan menyempitnya rongga dada, serta berkurangnya kemampuan diafragma (sirkulasi paru-paru). Bahkan, ada beberapa orang yang tidak terlalu peduli dengan tata cara peletakan kedua tangan hingga sekedar meletakkan jemari tangan kanan di atas jemari tangan kiri saja. Memang, posisi peletakkan kedua tangan tidak sampai membatalkan shalat, hanya saja bisa menyebabkan seorang hamba tidak terlalu jujur ketika berharap ingin mendekatkan dirinya kepada Allah dengan melakukan hal yang bukan menjadi sunnah Rasulullah saw.

Kamis, 05 Juni 2014

Bentuk-Bentuk Mukjizat Dari Posisi Tangan

Bentuk-Bentuk Mukjizat Dari Posisi Tangan
SEBAGAIMANA yang dikatakan oleh beberapa ulama bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri termasuk salah satu sebab yang bisa membuat seseorang menjadi khusyu dalam shalatnya. Sebagaimana hal tersebut juga terdapat dalam hadits-hadits bahwa Rasulullah saw, menaruh tangan kanan beliau di atas tangan kirinya, diletakkan di atas pusar dan dibawah tulang rusuk, sedangkan telapak dalam tangan kanan berada di atas pergelangan tangan kiri. Dikatakan juga dalam salah satu hadits, kelingking dan ibu jari tangan kanan Rasululllah memegang pergelangan tangan kiri, sedangkan tiga jari tengah berada di lengan bawah tangan kiri. Kemudian, muncul sebuah pertanyaan, mengapa meletakkan tangan ketika berdiri untuk shalat harus seperti itu?
Jawabannya, pertama meletakkan tangan di dada, diatas pusar dan di bawah tulang rusuk itu adalah posisi yang terbaik untuk siku dibandingkan dengan posisi lainnya. Hal itu dapat dibuktikan, ketika tangan mengalami luka patah maka bahan gips akan diletakkan di atas pusar, di bawah tulang rusuk dan berada di dada. sedangkan telapak dalam tangan akan menghadap dada, lalu kain penyangga gips akan diikatkan ke leher agar tetap stabil. Posisi ini persis seperti posisi meletakkan tangan ketika shalat, hanya saja tidak ada kain kyang diikatkan ke leher pada waktu shalat dan hanya meng-andalkan kekuatan otot kedua siku yang menjaganya agar tetap dalam posisi tersebut.
Kedua, gerakan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dengan posisi seperti tersebut di atas dapat menjaga posisi dua bahu sama tinggi. Kemudian, pada posisi tersebut juga membuat kedua lengan bawah berada pada posisi sejajar sehingga kedua bahu juga berada pada posisi sejajar (rata), sedangkan kedua tangan akan menjauh satu sama lain sepanjang tulang tangan. Kesejajaran posisi dua bahu dan dua kaki dan berada pada satu garis vertical (lurus), yaitu tanah, lalu bobot tulang pinggul dibagi rata dan dua sisinya bertumpu secara seimbang pada dua kaki dengan menempelkan tumit dengan tumit, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Maka selanjutnya posisi seperti ini dapat mencegah terjadinya kemiringan sisi pada tulang punggung, sekaligus dapat menyembuhkan kelainan tersebut. Karena, seseorang dipaksa tetap berada pada posisi seperti di atas dalam tempo waktu yang relative panjang ketika melakukan shalat, ditambah lagi bila orang yang bersangkutan rajin menjaga shalatnya.
Kemudian, adanya kesejajaran dua kaki, dua bahu, dan tulang pinggul dapat mencegah miringnya posisi kepala atau leher ke salah satu sisi, yang biasa disebut dengan leher kaku. Selanjutnya, posisi berdiri yang seperti tersebut tadi adalah salah satu sarana penting untuk dapat mencegah terjadinya kemiringan-kemiringan pada tulang punggung.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah mengapa tangan kanan harus berada di atas tangan kiri dan tidak sebaliknya?
Rasulullah saw, memerintahkan kepada umatnya untuk lebih banyak menggunakan tanan kanan dalam berbagai aktivitas hidup, seperti yang diajarkan oleh beliau tentang cara makan, seraya bersabda, “Makanlah dengan tangan kananmu!” Dalam kesempatan lain, beliau saw, bersabda, “Dahulukanlah sebelah kanan (tangan, kaki kanan, dan lain-lain) karena pada sebelah kanan itu ada berkahnya.”
Sikap mendahulukan sebelah kanan juga disinggung oleh Allah SWT dalam firman-Nya ketika menggambarkan penduduk surge dan neraka, sera berfirman; “Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata, ‘Ambillah, bacalah kitabku (ini)’. Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui hisab terhadap diriku. Maka orang itu berada dalam kehidupan yang di ridhai dalam surge yang tinggi, buah-buahannya dekat (kepada mereka dikatakan), ‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.’ Adapun orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kirinya, maka dia berkata, ‘Wahai alangkah baiknya kiranya tidak diberikan kepadaku kitabku (ini). Dan aku tidak mengetahui apa hisab terhadap diriku. Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku telah hilang kekuasaanku dari padaku.” (al-Haaqqah: 19-29)
Dalam surah al-Waaqi’ah, Allah juga menyinggung tentang sebelah kanan, seraya berfirman yang artinya; “Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu berada di antara pohon bidara yang tak berduri dan pohon pisang yang bersusun-susun (buahnya) dan naungan yang terbentang luas dan air yang tercurah dan buah-buahan yang banyak yang tidak berhenti (berbuah) dan tidak terlarang mengambilnya dan kasur-kasur yang tebal lagi empuk. Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan penuh cinta lagi sebaya umurnya (kami ciptakan mereka) untuk golongan kanan (yaitu) segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian. Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu? Dalam (siksaan) angina yang amat panas, dan air panas yang mendidih dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.” (al-Waaqi’ah: 27-44).
Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat tadi, penduduk surge disebut (disimbolkan) dengan golongan kanan, sedangkan penduduk neraka sebagai golongan kiri. Artinya, kanan adalah kebaikan, keberuntungan dan surga.
Karena itu, sikap medahulukan sebelah kanan (kaki, tangan dll) ketika melakukan banyak perkerjaan lebih utama daripada menggunakan sebelah kiri. Hal ini seperti yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a, ia berkata, “Nabi saw, senang menggunakan sebelah kanan dalam melakukan banyak hal, seperti ketika berwudhu, berjalan, dan memakai sandal.”
Efek penggunaan tangan kanan yang relative lebih banyak daripada tangan kiri menyebabkan terjadinya pergeseran sedikit pada tulang belikat kea rah kiri dan sedikit mengarah ke depan. Juga, terjadi sedikit penurunan pundak kanan dibandingkan pundak kiri karena tangan kiri lebih sedikit digunakan dan hanya digunakan pada waktu ber-istinja (bercebok) dan ber-istintsar (mengeluarkan kotoran air ke dalam hidung ketika berwudhu), dan gerakan-gerakan lainnya yang jauh lebih ringan dibandingkan tangan kanan. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Qatadah, dari ayahnya, Rasulullah saw, bersabda, yang artinya; “Jika salah seorang di antara kalian meminum hendaknya jangan meniup di dalam tempat minumnya, jika buang hajat (kecil atau besar) jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanannya begitu juga ketika bercebok.”
Diriwayatkan dari Abu Qatadah juga, Rasulullah saw, bersabda, “Jika ada di antara kalian buang hajat maka jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanannya, jangan beristinja dengan tangan kanannya, dan jangan meniup di dalam tempat minum.”

Dari dalil-dalil di atas terlihat jelas bahwa tangan kiri lebih sedikit digunakan dibandingkan dengan tangan kanan. Karena itulah, terjadi pergeseran sedikit pada tulang belikat sebelah kanan sedikit mengarah ke depan. Kemudian, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat memberikan keistimewaan lain untuk sebelah kanan. Adapun keistimewaan berikutnya, posisi tersebut dapat mengangkat lengan bawah tangan kanan agak lebih ke depan dibandingkan lengah bawah tangan kiri, disebabkan peletakan tangan kanan di atas tangan kiri dapat menyebabkan pergeseran pada tulang belikat sebelah kanan agak ke belakang sedikit dibandingkan sebelah kiri. Pergeseran ini dapat mendorong terciptanya keseimbangan dan kesamaan posisi dua pundak akibat posisi dua tulang belikat yang mempengaruhi dua pundak dan punggung.