Penutup
Dari
semua pembahasan dan pemaparan tadi, terlihat jelas betapa pentingnya perpaduan
gerakan-gerakan shalat dengan apa yang terdapat dalam sunnah Rasulullah saw,
perpaduan (kemiripan) gerakan shalat dengan gerakan shalat Rasulullah saw, itu sendiri
memiliki banyak hikmah dan kita tidak bisa memahaminya dengan mudah. Adapun
shalat, seperti yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, Rasulullah saw,
bersabda, “Shalat itu menjadi
ukuran, siapa yang berusaha melakukannya dengan benar maka shalatnya akan
menjadi benar.”
Maksudnya, jika seseorang melakukan shalat dengan benar maka pahala
shalat tersebut bisa menolong para pelakunya di hari Kiamat nanti. Adapun jika
seseorang mengalami banyak kekurangan ketika melakukan shalat maka pahala yang
akan diterima pada hari Kiamat oleh para pelakunya akan pas-pasan saja. Atau
bahkan, jika samapi seseorang itu
menganggap remeh shalatnya maka pelakunya sendiri yang pertama kali akan
merugi. Kemudian shalat itu akan berkata kepada orang tersebut, “Semoga Allah menyia-nyiakan
kamu sebagaimana kamu telah menyia-nyiakan aku.” Karena itulah, kita tidak
boleh meremehkan hal-hal sunnah (dalam shalat), karena meskipun bentuknya kecil
dan ringan saja, pekerja-pekerjaan sunnah yang ringan dan gerakan yang sedikit
itu mengandung banyak hikmah yang tidak dapat dapat kita pahami dengan mudah.
Namun, ketika seseorang rajin melakuka pekerjaan-pekerjaan sunnah maka
hendaknya ia melakukan semua hal sunnah tersebut bersember dari keimanan kepada
Allah dan sikap pembenaran terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw.
disamping, ia selalu berusaha untuk menjaga hal-hal sunnah tersebut dengan
disertai kejujuran niat dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Tidak ada pendapat yang lebih menarik yang berkaitan dengan hal-hal sunnah ini
seperti pendapat Abu Hamid al-Ghazali. Ia menjelaskan tingkatandan kedudukan
sunnah dalam shalat, dengan mengumpamakannya hal sunnah dan wajib dalam shalat
seperti anggota tubuh manusia, seraya berkata, “Seseorang manusia tidak dianggap
memiliki sosok manusia secara utuh kecuali ia memiliki sisi batin dan anggota
luar tubuh (sisi fisik). Adapun sisi batinnya adalah kehidupan dan ruh,
sedangkan anggota luar tubuh adalah organ tubuhnya sendiri. Bila seseorang
kehilangan beberapa anggota tubuhnya seperti jantung, hati, dan otak maka
keadaan tersebut dapat menyebabkannya meninggal. Namun, ada beberapa anggota
tubuh lainnya yang bila seseorang tidak sampai mengurangi aktivitasnya, tetapi
hanya mengurangi keindahan wajahnya saja, seperti dua alis, jenggot, dan alis
mata. Kemudian, ada pula bila seseorang kehilangan beberapa anggota tubuh dan
percampuran warna kulitnya. Dengan demikian, tingkatan dan kedudukan anggota
tubuh itu berbeda-beda. Begitu pula halnya dalam ibadah, pelaksanaannya
merupakan salah satu bentuk kepatuhan terhadap syariat. Ruh dan sisi kehidupan
batin ibadah itu adalah khusyu, niat, ketenangan hati, dan keikhlasan ibadah.
Adapun sisi-sisi luar ibadah adalah ruku, sujud, berdiri, dan hal-hal rukun
lainnya. Kedudukan rukun-rukun dalam ibadah shalat seperti halnya jantung,
kepala dan hati bagi tubuh manusia. Shalat akan dianggap mati (tidak sah) bila
tidak adanya (dikerjakan) rukun-rukun tersebut.
Adapun hal-hal sunnah, seperti mengangkat dua tangan, membaca doa
iftitah (pembuka), tasyahhud pertama, seperti halnya tangan, mata, dan kaki.
Ibadah shalat tetap dianggap sah meskipun hal-hal sunnah tersebut tidak
dikerjakan. Akan tetapi, orang yang tidak melakukan hal-hal sunnah tersebut,
ibadah shalatnya akan mengalami kekurangan, seperti halnya tubuh akan terlihat
cacat bila tidak memiliki tangan, mata, dan kaki. Siapapun yang berusaha
mengurangi gerakan sunnah dalam shalatnya, seperti halnya orang yang ingin
memberikan hadiah seorang budak kepada raja, tetapi budak itu memiliki cacat fisik.
Sedangkan penampilan shalat itu sendiri kedudukannya di bawah hal-hal yang
sunnah. Penampilan shalat itu seperti halnya dua alis, jenggot, alis mata, dan
warna kulit tubuh yang indah, semuanya menjadi pelengkap keindahan wajah
seseorang. Kemudian, bacaan-bacaan zikir, ia menjadi penyempurna keindahan
ibadah shalat, seperti halnya lengkungan dua alis, jenggot yang bersambung, dan
lain-lain.
Jadikanlah ibadah shalat itu sebagai hadiah dan pemberian besar yang
kamu berikan kepada Raja dan dapat mendekatkan dirimu kepada-Nya. Ibadah shalat
juga seperti halnya hadiah yang diberikan oleh seseorang yang sedang mencari
kedudukan di hadapan raja. Adapun pemberian (shalat) tersebut kamu berikan
hanya kepada Allah SWT, sedangkan tanggapan atas pemberianmu itu baru kamu akan
terima pada ‘hari pengumuman’ terbesar
nanti. Kamu dapat memilih untuk memberikannya dalam bentuk yang terbaik atau
buruk. Lantas, jika kamu memilih untuk meberikannya (shalat) dalam bentuk yang
terbaik maka respons yang kamu terima juga akan baik, namun jika hanya
biasa-biasa saja atau bahkan buruk, maka tanggapan atas semua pemberianmu itu
akan kamu terima juga nanti di sana dengan respons yang setimpal.” Sementara
ini, anggapan yang ada dalam benak kita tentang hal-hal sunnah adalah ia boleh ditinggalkan
maka tidak jarang, kita sering meninggalkannya. Namun, anggapan ini sama saja
dengan ucapan dokter, “Memang, tindakan mencungkil mata itu tidak mengurangi
kesempurnaan sosok manusia, hanya saja tindakan tersebut dapat mengurangi
kejujuran harapan untuk mendekatkan diri kepada Allah.” Dengan demikian, kita
harus memahami dengan baik tingkatan dan kedudukan hal-hal sunnah, bentuk
penampilan, dan adab-adab dalam melakukan shalat. Karena, jika seseorang tidak
sempurna dalam melakukan ruku dan sujudnya, maka pelaksananya sendiri yang
pertama kali akan menerima kerugiannya, lantas shalat akan berkata kepada orang
tersebut, “semoga Allah menyia-nyiakan kamu seperti kamu telah menyia-nyiakan
aku.”
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah saw,
bersabda, “Betapa banyak orang
yang melakukan shalat hanya mendapatkan rasa lelah dan letih saja.”
Dalam riwayat lainnya, “Berapa
banyak orang yang melakukan shalat (malam) kecuali hanya (niat) begadang saja.”
Sumber Buku:
“Dahsyatnya Gerakan Shalat: Tinjauan Syariah dan Kesehatan” Oleh Jalal
Syafi’i
Penerbit: Gema Insani, Jakarta, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar