Senin, 14 Juli 2014

Penutup

Penutup

Dari semua pembahasan dan pemaparan tadi, terlihat jelas betapa pentingnya perpaduan gerakan-gerakan shalat dengan apa yang terdapat dalam sunnah Rasulullah saw, perpaduan (kemiripan) gerakan shalat dengan gerakan shalat Rasulullah saw, itu sendiri memiliki banyak hikmah dan kita tidak bisa memahaminya dengan mudah. Adapun shalat, seperti yang disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas, Rasulullah saw, bersabda, “Shalat itu menjadi ukuran, siapa yang berusaha melakukannya dengan benar maka shalatnya akan menjadi benar.” 
Maksudnya, jika seseorang melakukan shalat dengan benar maka pahala shalat tersebut bisa menolong para pelakunya di hari Kiamat nanti. Adapun jika seseorang mengalami banyak kekurangan ketika melakukan shalat maka pahala yang akan diterima pada hari Kiamat oleh para pelakunya akan pas-pasan saja. Atau bahkan,  jika samapi seseorang itu menganggap remeh shalatnya maka pelakunya sendiri yang pertama kali akan merugi. Kemudian shalat itu akan berkata kepada orang tersebut, “Semoga Allah menyia-nyiakan kamu sebagaimana kamu telah menyia-nyiakan aku.” Karena itulah, kita tidak boleh meremehkan hal-hal sunnah (dalam shalat), karena meskipun bentuknya kecil dan ringan saja, pekerja-pekerjaan sunnah yang ringan dan gerakan yang sedikit itu mengandung banyak hikmah yang tidak dapat dapat kita pahami dengan mudah. Namun, ketika seseorang rajin melakuka pekerjaan-pekerjaan sunnah maka hendaknya ia melakukan semua hal sunnah tersebut bersember dari keimanan kepada Allah dan sikap pembenaran terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. disamping, ia selalu berusaha untuk menjaga hal-hal sunnah tersebut dengan disertai kejujuran niat dan keinginan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tidak ada pendapat yang lebih menarik yang berkaitan dengan hal-hal sunnah ini seperti pendapat Abu Hamid al-Ghazali. Ia menjelaskan tingkatandan kedudukan sunnah dalam shalat, dengan mengumpamakannya hal sunnah dan wajib dalam shalat seperti anggota tubuh manusia, seraya berkata, “Seseorang manusia tidak dianggap memiliki sosok manusia secara utuh kecuali ia memiliki sisi batin dan anggota luar tubuh (sisi fisik). Adapun sisi batinnya adalah kehidupan dan ruh, sedangkan anggota luar tubuh adalah organ tubuhnya sendiri. Bila seseorang kehilangan beberapa anggota tubuhnya seperti jantung, hati, dan otak maka keadaan tersebut dapat menyebabkannya meninggal. Namun, ada beberapa anggota tubuh lainnya yang bila seseorang tidak sampai mengurangi aktivitasnya, tetapi hanya mengurangi keindahan wajahnya saja, seperti dua alis, jenggot, dan alis mata. Kemudian, ada pula bila seseorang kehilangan beberapa anggota tubuh dan percampuran warna kulitnya. Dengan demikian, tingkatan dan kedudukan anggota tubuh itu berbeda-beda. Begitu pula halnya dalam ibadah, pelaksanaannya merupakan salah satu bentuk kepatuhan terhadap syariat. Ruh dan sisi kehidupan batin ibadah itu adalah khusyu, niat, ketenangan hati, dan keikhlasan ibadah. Adapun sisi-sisi luar ibadah adalah ruku, sujud, berdiri, dan hal-hal rukun lainnya. Kedudukan rukun-rukun dalam ibadah shalat seperti halnya jantung, kepala dan hati bagi tubuh manusia. Shalat akan dianggap mati (tidak sah) bila tidak adanya (dikerjakan) rukun-rukun tersebut.
Adapun hal-hal sunnah, seperti mengangkat dua tangan, membaca doa iftitah (pembuka), tasyahhud pertama, seperti halnya tangan, mata, dan kaki. Ibadah shalat tetap dianggap sah meskipun hal-hal sunnah tersebut tidak dikerjakan. Akan tetapi, orang yang tidak melakukan hal-hal sunnah tersebut, ibadah shalatnya akan mengalami kekurangan, seperti halnya tubuh akan terlihat cacat bila tidak memiliki tangan, mata, dan kaki. Siapapun yang berusaha mengurangi gerakan sunnah dalam shalatnya, seperti halnya orang yang ingin memberikan hadiah seorang budak kepada raja, tetapi budak itu memiliki cacat fisik. Sedangkan penampilan shalat itu sendiri kedudukannya di bawah hal-hal yang sunnah. Penampilan shalat itu seperti halnya dua alis, jenggot, alis mata, dan warna kulit tubuh yang indah, semuanya menjadi pelengkap keindahan wajah seseorang. Kemudian, bacaan-bacaan zikir, ia menjadi penyempurna keindahan ibadah shalat, seperti halnya lengkungan dua alis, jenggot yang bersambung, dan lain-lain.
Jadikanlah ibadah shalat itu sebagai hadiah dan pemberian besar yang kamu berikan kepada Raja dan dapat mendekatkan dirimu kepada-Nya. Ibadah shalat juga seperti halnya hadiah yang diberikan oleh seseorang yang sedang mencari kedudukan di hadapan raja. Adapun pemberian (shalat) tersebut kamu berikan hanya kepada Allah SWT, sedangkan tanggapan atas pemberianmu itu baru kamu akan terima pada ‘hari pengumuman’  terbesar nanti. Kamu dapat memilih untuk memberikannya dalam bentuk yang terbaik atau buruk. Lantas, jika kamu memilih untuk meberikannya (shalat) dalam bentuk yang terbaik maka respons yang kamu terima juga akan baik, namun jika hanya biasa-biasa saja atau bahkan buruk, maka tanggapan atas semua pemberianmu itu akan kamu terima juga nanti di sana dengan respons yang setimpal.” Sementara ini, anggapan yang ada dalam benak kita tentang hal-hal sunnah adalah ia boleh ditinggalkan maka tidak jarang, kita sering meninggalkannya. Namun, anggapan ini sama saja dengan ucapan dokter, “Memang, tindakan mencungkil mata itu tidak mengurangi kesempurnaan sosok manusia, hanya saja tindakan tersebut dapat mengurangi kejujuran harapan untuk mendekatkan diri kepada Allah.” Dengan demikian, kita harus memahami dengan baik tingkatan dan kedudukan hal-hal sunnah, bentuk penampilan, dan adab-adab dalam melakukan shalat. Karena, jika seseorang tidak sempurna dalam melakukan ruku dan sujudnya, maka pelaksananya sendiri yang pertama kali akan menerima kerugiannya, lantas shalat akan berkata kepada orang tersebut, “semoga Allah menyia-nyiakan kamu seperti kamu telah menyia-nyiakan aku.”
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah, Rasulullah saw, bersabda, “Betapa banyak orang yang melakukan shalat hanya mendapatkan rasa lelah dan letih saja.”
Dalam riwayat lainnya, “Berapa banyak orang yang melakukan shalat (malam) kecuali hanya (niat) begadang saja.”  

Sumber Buku:  
“Dahsyatnya Gerakan Shalat: Tinjauan Syariah dan Kesehatan” Oleh Jalal Syafi’i

Penerbit: Gema Insani, Jakarta, 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar