Senin, 07 Juli 2014

Duduk Istirahat Sejenak Lalu Bangun Untuk Melakukan Rakaat Kedua

Duduk Istirahat Sejenak Lalu Bangun Untuk Melakukan Rakaat Kedua

Duduk istirahat adalah duduk sejenak yang dilakukan oleh seorang pelaksana shalat setelah ia menyelesaikan sujud kedua pada rakaat pertama dan sebelum bangkit lagi untuk melakukan rakaat kedua. Begitu juga, duduk sejenak dilakukan setelah selesai melakukan rakaat keempat. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum duduk istirahat karena adanya perbedaan sumber hadits yang membicarakan tentangnya. Para ahli fiqih berbeda pendapat apakah duduk istirahat itu sunnah sehingga disunnahkan pada setiap orang untuk melakukannya atau ia bukanlah sunnah sehingga siapa yang ingin istirahat sejenak, ia bisa melakukannya. Beberapa sahabat ada yang meriwayatkan tentang bentuk shalat Rasulullah saw. Di antara hadits-hadits tersebut ada yang menyebutkankan bentuk bangunnya Rasulullah ketika beliau hendak melakukan rakaat kedua, seperti hadits Wail bin Hajar, “Ketika Nabi saw. Bersujud, beliau akan menempelkan dua lututnya di atas tanah  sebelum menempelkan dua telapak tangannya. Kemudian, ketika sujud beliau meletakkan keningnya di antara dua telapak tangan sambil melebarkan dua sikunya. Lantas, ketika Rasulullah saw, bangun, beliau akan bangun dengan dua lututnya dan bertumpu pada dua pahanya.”
Dari teks hadits di atas yang berbunyi, “Jika Rasulullah saw bangun, beliau akan bangun dengan dua lututnya,” kata-kata ini mengisyaratkan bentuk bangunnya Rasulullah hanya bertumpu pada dua lutut dan bertopang di atas dua paha dan tidak di atas tanah sebagaimana teks yang berbunyi “pada dua pahanya.”
Adapun hadits yang berbicara tentang duduk istirahat, diriwayatkan dari banyak perawi hadits kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah saja, yaitu hadits yang diriwayatkan Malik bin Huwairits, ia pernah melihat “Nabi saw, melakukan shalat, lalu ketika sampai pada rakaat ganjil, beliau tidak langsung berdiri, tetapi duduk sejenak terlebih dahulu.” Dari hadits ini, terlihat ada bukti hukum tentang duduk istirahat setelah selesai melakukan sujud kedua dan sesaat sebelum bangkit untuk melakukan rakaat kedua ataupun keempat. Adapun bila diharuskan adanya hadits yang membicarakan secara khusus tentang duduk istirahat itu waktu dan bentuknya hanya sebentar saja sehingga tidak perlu  untuk dibicarakan dengan panjang lebar ataupun secara tegas.
Beberapa ulama yang meolak untuk mengatakan bahwa duduk istirahat itu sunnah memberikan alas an, jika memang duduk istirahat itu sunnah maka seluruh perawi hadits yang menggambarkan bentuk shalatnya Rasulullah saw, akan ikut menyebutkannya juga. Kelompok ulama yang menolak bahwa duduk istirahat itu sunnah mengatakan juga tentang tidak adanya hukum duduk istirahat, seperti yang terdapat dalam hadits Wail bin Hajar dari kata, “Jika Rasulullah saw, mengangkat kepalanya (bangun) dari dua sujud, beliau akan berdiri tegak sebentar.” Kata-kata hadits ini hanya membantah pendapat orang yang mengatakan tentang hukum wajibnya duduk istirahat, tetapi tidak halnya dengan orang yang mengatakan tentang hukum sunnahnya. saya Sendiri berpendapat, kata-kata “berdiri tegak sebentar” tidaklah bisa dijadikan bukti akan tidak adanya hukum duduk istirahat, karena keadaan tegak itu tidak akan mungkin terjadi kecuali jika seseorang itu telah bangkit dari dua sujudnya. Sedangkan duduk istirahat itu adalah salah satu gerakan bangkit dari dua sujud. Jadi, sangat tidak mungkin seorang pelaksana shalat dapat berdiri tegak (untuk melakukan shalat kedua) tanpa ada upaya bangkit terlebih dahulu dari rakaat pertama. Dengan begitu, alas an orang yang menolak sunnahnya duduk istirahat dengan kata-kata “berdiri tegak” tidak bisa dijadikan pegangan. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ahmad, al-Khllal berkata, “Imam Ahmad telah meneliti kembali hadits Malik bin Huwairits yang berbicara tentang duduk istirahat,” Lalu Imam Ahmad berkata, “Yusuf bin Musa memberi tahu aku bahwa Abu Umamah telah ditanya tentang gerakan bangun, lalu dijawab oleh Abu Umamah, ‘Bangunnya (untuk melakukan rakaat kedua dan keempat) bertumpu pada awal telapak kaki.”
Mungkin saja Rasulullah saw, itu tidak selalu duduk istirahat pada setiap shalatnya, kecuali jika beliau sedang menginginkannya (membutuhkannya). Dengan begitu, hukum duduk istirahat sama seperti halnya hukum bertumpu pada dua tangan ketika bangun, atau bertumpu pada tongkat ketika melakukan shalat pada waktu bergerak turun untuk sujud, ataupun ketika bangun untuk melakukan rakaat kedua. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata, “Nabi saw, melarang duduknya seorang laki-laki ketika ia sedang melakukan shalat, yaitu ia bertumpu pada dua tangannya.” (HR Ahmad). Dalam riwayat Abu Dawud berbunyi, “Rasulullah saw melarang seorang laki-laki melakukan shalat yang bertumpu dengan tangannya.”
Meskipun bentuk pelarangan Nabi saw kepada umatnya pada waktu mereka melakukan shalat hanya tetuju pada tumpuan di atas dua tangan saja, tetapi pelarangan tersebut dapat digeneralisir pada bentuk tumpuan di atas benda lainnya, dan ini lebih baik. Namun, ketika Nabi saw mulai berusia lanjut, beliau sendiri mengambil tiang di tempat shalatnya dan bersandar pada tiang tersebut, seperti yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan dari Ummu Qais bin Muhshan, “Ketika Nabi saw, sudah berumur dan gemuk, beliau mengambil sebuah tiang (tongkat) di tempat shalatnya dan bersandar pada tiang itu.” Dari sini, pendapat yang lebih baik (paling mendekati kebenaran) adalah pendapat ulama yang mengatakan tentang hukum sunnahnya duduk istirahat dan hukumnya tidak wajib. Siapa yang meninggalkannya (tidak melakukan duduk istirahat) tidak akan mendapatkan dosa, sedangkan siapa yang bisa melakukannya maka duduk istirahat itu sunnah. Adapun hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz, “Nabi saw berdiri (ketika telah menyelesaikan satu rakaat) dalam shalat secepat anak panah.”
Dari hadits Mu’adz ini, kita bisa tarik dua hal sebagai berikut;
Pertama, Nabi saw berdiri sedang punggungnya dalam keadaan tegak lurus atau hampir tegak.
Kedua, dalam kata “secepat anak panah” bisa dijadikan bukti perintah untuk mempercepat gerakan bangun dengan keadaan kepala bergerak ke atas. Dari sini, tentu saja gerakan bangun itu harus melaui terlebih dahulu duduk istirahat sebagai persiapan untuk bangun dan mengarahkan kepala ke atas. Tidak seperti yang dikerjakan oleh sebagian orang, mereka mengangkat pantatnya dulu baru kemudian mengangkat badannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar