Duduk Istirahat Sejenak Lalu Bangun Untuk Melakukan Rakaat Kedua
Duduk istirahat adalah duduk sejenak yang dilakukan oleh seorang
pelaksana shalat setelah ia menyelesaikan sujud kedua pada rakaat pertama dan
sebelum bangkit lagi untuk melakukan rakaat kedua. Begitu juga, duduk sejenak
dilakukan setelah selesai melakukan rakaat keempat. Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum duduk istirahat karena adanya perbedaan sumber hadits yang
membicarakan tentangnya. Para ahli fiqih berbeda pendapat apakah duduk
istirahat itu sunnah sehingga disunnahkan pada setiap orang untuk melakukannya
atau ia bukanlah sunnah sehingga siapa yang ingin istirahat sejenak, ia bisa
melakukannya. Beberapa sahabat ada yang meriwayatkan tentang bentuk shalat
Rasulullah saw. Di antara hadits-hadits tersebut ada yang menyebutkankan bentuk
bangunnya Rasulullah ketika beliau hendak melakukan rakaat kedua, seperti
hadits Wail bin Hajar, “Ketika Nabi saw. Bersujud, beliau akan menempelkan dua
lututnya di atas tanah sebelum
menempelkan dua telapak tangannya. Kemudian, ketika sujud beliau meletakkan
keningnya di antara dua telapak tangan sambil melebarkan dua sikunya. Lantas,
ketika Rasulullah saw, bangun, beliau akan bangun dengan dua lututnya dan
bertumpu pada dua pahanya.”
Dari teks hadits di atas
yang berbunyi, “Jika Rasulullah saw bangun, beliau akan bangun dengan dua
lututnya,” kata-kata ini mengisyaratkan bentuk bangunnya Rasulullah hanya
bertumpu pada dua lutut dan bertopang di atas dua paha dan tidak di atas tanah
sebagaimana teks yang berbunyi “pada dua pahanya.”
Adapun hadits yang
berbicara tentang duduk istirahat, diriwayatkan dari banyak perawi hadits
kecuali Imam Muslim dan Ibnu Majah saja, yaitu hadits yang diriwayatkan Malik
bin Huwairits, ia pernah melihat “Nabi saw, melakukan shalat, lalu ketika
sampai pada rakaat ganjil, beliau tidak langsung berdiri, tetapi duduk sejenak
terlebih dahulu.” Dari hadits ini, terlihat ada bukti hukum tentang duduk
istirahat setelah selesai melakukan sujud kedua dan sesaat sebelum bangkit
untuk melakukan rakaat kedua ataupun keempat. Adapun bila diharuskan adanya
hadits yang membicarakan secara khusus tentang duduk istirahat itu waktu dan
bentuknya hanya sebentar saja sehingga tidak perlu untuk dibicarakan dengan panjang lebar
ataupun secara tegas.
Beberapa ulama yang meolak
untuk mengatakan bahwa duduk istirahat itu sunnah memberikan alas an, jika
memang duduk istirahat itu sunnah maka seluruh perawi hadits yang menggambarkan
bentuk shalatnya Rasulullah saw, akan ikut menyebutkannya juga. Kelompok ulama
yang menolak bahwa duduk istirahat itu sunnah mengatakan juga tentang tidak
adanya hukum duduk istirahat, seperti yang terdapat dalam hadits Wail bin Hajar
dari kata, “Jika Rasulullah saw, mengangkat kepalanya (bangun) dari dua sujud,
beliau akan berdiri tegak sebentar.” Kata-kata hadits ini hanya membantah
pendapat orang yang mengatakan tentang hukum wajibnya duduk istirahat, tetapi
tidak halnya dengan orang yang mengatakan tentang hukum sunnahnya. saya Sendiri
berpendapat, kata-kata “berdiri tegak sebentar” tidaklah bisa dijadikan bukti
akan tidak adanya hukum duduk istirahat, karena keadaan tegak itu tidak akan
mungkin terjadi kecuali jika seseorang itu telah bangkit dari dua sujudnya. Sedangkan
duduk istirahat itu adalah salah satu gerakan bangkit dari dua sujud. Jadi,
sangat tidak mungkin seorang pelaksana shalat dapat berdiri tegak (untuk
melakukan shalat kedua) tanpa ada upaya bangkit terlebih dahulu dari rakaat
pertama. Dengan begitu, alas an orang yang menolak sunnahnya duduk istirahat
dengan kata-kata “berdiri tegak” tidak bisa dijadikan pegangan. Sebagaimana yang
diriwayatkan dari Ahmad, al-Khllal berkata, “Imam Ahmad telah meneliti kembali
hadits Malik bin Huwairits yang berbicara tentang duduk istirahat,” Lalu Imam
Ahmad berkata, “Yusuf bin Musa memberi tahu aku bahwa Abu Umamah telah ditanya
tentang gerakan bangun, lalu dijawab oleh Abu Umamah, ‘Bangunnya (untuk
melakukan rakaat kedua dan keempat) bertumpu pada awal telapak kaki.”
Mungkin saja Rasulullah
saw, itu tidak selalu duduk istirahat pada setiap shalatnya, kecuali jika
beliau sedang menginginkannya (membutuhkannya). Dengan begitu, hukum duduk
istirahat sama seperti halnya hukum bertumpu pada dua tangan ketika bangun,
atau bertumpu pada tongkat ketika melakukan shalat pada waktu bergerak turun
untuk sujud, ataupun ketika bangun untuk melakukan rakaat kedua. Diriwayatkan dari
Ibnu Umar, ia berkata, “Nabi saw, melarang duduknya seorang laki-laki ketika ia
sedang melakukan shalat, yaitu ia bertumpu pada dua tangannya.” (HR Ahmad). Dalam riwayat Abu Dawud
berbunyi, “Rasulullah saw melarang seorang laki-laki melakukan shalat yang
bertumpu dengan tangannya.”
Meskipun bentuk pelarangan
Nabi saw kepada umatnya pada waktu mereka melakukan shalat hanya tetuju pada
tumpuan di atas dua tangan saja, tetapi pelarangan tersebut dapat digeneralisir
pada bentuk tumpuan di atas benda lainnya, dan ini lebih baik. Namun, ketika
Nabi saw mulai berusia lanjut, beliau sendiri mengambil tiang di tempat
shalatnya dan bersandar pada tiang tersebut, seperti yang terdapat dalam hadits
yang diriwayatkan dari Ummu Qais bin Muhshan, “Ketika Nabi saw, sudah berumur
dan gemuk, beliau mengambil sebuah tiang (tongkat) di tempat shalatnya dan
bersandar pada tiang itu.” Dari sini, pendapat yang lebih baik (paling
mendekati kebenaran) adalah pendapat ulama yang mengatakan tentang hukum
sunnahnya duduk istirahat dan hukumnya tidak wajib. Siapa yang meninggalkannya
(tidak melakukan duduk istirahat) tidak akan mendapatkan dosa, sedangkan siapa
yang bisa melakukannya maka duduk istirahat itu sunnah. Adapun hadits yang
diriwayatkan dari Mu’adz, “Nabi saw berdiri (ketika telah menyelesaikan satu
rakaat) dalam shalat secepat anak panah.”
Dari hadits Mu’adz ini,
kita bisa tarik dua hal sebagai berikut;
Pertama, Nabi saw berdiri
sedang punggungnya dalam keadaan tegak lurus atau hampir tegak.
Kedua, dalam kata “secepat
anak panah” bisa dijadikan bukti perintah untuk mempercepat gerakan bangun
dengan keadaan kepala bergerak ke atas. Dari sini, tentu saja gerakan bangun
itu harus melaui terlebih dahulu duduk istirahat sebagai persiapan untuk bangun
dan mengarahkan kepala ke atas. Tidak seperti yang dikerjakan oleh sebagian
orang, mereka mengangkat pantatnya dulu baru kemudian mengangkat badannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar